Jakarta -
Kasus bom yang terjadi di Surabaya 13-14 Mei 2018 lalu masih menjadi perbincangan. Nah, seorang
anak yang diduga berusia tujuh tahun disebut sebagai saksi penting karena ditengarai merupakan anak pelaku, Bun.
Seperti dikutip dari detikcom nih, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut bocah yang selamat dari pengeboman di Mapolrestabes Surabaya itu masih dalam perawatan. Tito bilamg bocah itu merupakan saksi penting.
"Ini saksi yang paling penting. Biarkan dia dulu dirawat," kata Tito dalam jumpa pers di Mapolda Jawa Timur, Senin (14/5/2018).
Bisa dibayangin kan, Bun, anak sekecil itu harus menanggung beban moral dari perlakukan kedua orang tuanya yang sudah meninggal. Nah, terkait anak tersebut yang dijadikan saksi kunci, kira-kira anak sekecil itu, apalagi setelah kejadian yang menimpanya, bisa menceritakan peristiwa secara runtut nggak ya?
Kalau kata psikolog klinis, Christina Tedja, pada dasarnya
anak yang berusia tujuh tahun sudah dapat menceritakan kejadian secara runtut. Namun, alasan di balik semua kejadian yang terjadi mungkin belum begitu paham.
"Anak juga bisa berkata jujur maupun berbohong, entah di-briefing demikian oleh orang tuanya atau ya bisa jadi karena efek ketakutan yang berlebihan," kata psikolog yang akrab disapa Tina ini.
Untuk menilai kebenaran yang diungkapkan anak, orang dewasa perlu masuk ke dunia anak, memahami bahasa yang digunakan, dan memahami konteksnya. Dalam analisis kebohongan, diungkapkan pakar deteksi kebohongan, Handoko Gani, MBA, BAII, terdapat Criteria Based Content Analysis (CBCA).
"Kita lakukan untuk gali pernyataan, bukan berarti memorinya kita abaikan. Pada CBCA ada 19 kriteria. Makin banyak cerita memenuhi 19 kriteria tersebut, lebih kredibel. Di antaranya, ceritanya jelas, lengkap. Lalu detail. Kemudian relevan atau masuk akal," kata Handoko dikutip dari detikHealth.
Handoko menambahkan menilai anak berbohong atau tidak, kurang tepat jika hanya melihat mimiknya saja, Bun. Ia juga kurang setuju dengan pernyataan anak kecil tidak bisa berbohong. Karena faktanya manusia belajar bohong sejak usia 2 tahun.
"Contoh kecilnya, anak diajari terima kasih kalau dikasih makanan, tapi dia ngeles saat nggak bilang terima kasih katanya karena dia nggak suka makanannya. Terus anak nangis, padahal nggak kenapa-kenapa, cuma ingin mengundang perhatian orang tua saja," tutur Handoko.
(Nurvita Indarini)