Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

trending

Komnas Pertanyakan Bupati Tersangka Eksploitasi Seks Anak Tak Ditahan

Annisa Karnesyia   |   HaiBunda

Rabu, 30 Sep 2020 18:49 WIB

Ilustrasi kekerasan
Komnas Pertanyakan Bupati Tersangka Eksploitasi Seks Anak Tak Ditahan/ Foto: iStock
Jakarta -

Akhir tahun 2019 lalu, Wakil Bupati Buton Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), kini Plt Bupati, Ramadio, diduga terlibat kasus eksploitasi seksual terhadap anak berusia 14 tahun (F). Ramadio telah jadi tersangka, Komnas Perempuan pun mempertanyakan kenapa tidak ditahan.

Muncikari TB sebagai perantara telah divonis bersalah dan dipidana 6 tahun 6 bulan serta denda Rp100 juta. Putusan ini diperberat oleh Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara menjadi 9 tahun dengan denda Rp100 juta.

Wakil Bupati Buton Utara, Ramadio, telah ditetapkan sebagai tersangka. Satu tahun kasus berjalan, Ramadio belum mendapat hukuman dan ditahan karena belum ada persetujuan tertulis dari Presiden RI melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Sementara proses hukum masih berjalan, pada 25 September 2020, Gubernur Sulawesi Tenggara, H. Ali Mazi mengukuhkan Ramadio sebagai Pelaksana tugas (Plt) Bupati Buton Utara. Menanggapi hal tersebut, Yayasan Lambuina (YLI) selaku pendamping korban F angkat bicara dan kembali menceritakan kronologi tindakan kekerasan ini.

"Setiap kali pelaku melakukan tindakan pemerkosaan selalu memberikan uang ke muncikari (TB). TB mengancam dan mengintimidasi korban agar tidak memberikan keterangan pada siapapun," kata Yustin dari Yayasan Lambuina, dalam Konferensi Pers Kasus Kekerasan Seksual dengan Dugaan Pelaku Pejabat Publik via Zoom, Selasa (29/9/2020).

"Pada tanggal 26 September 2019, ayah korban melaporkan pada Polsek Bonegunu, Buton Utara. Dari semua kekerasan seksual yang dialami, dampaknya berlapis karena proses penanganan hukum berjalan berlarut-larut hampir satu tahun. Kami menyesalkan pelaku tidak ditahan justru mendapatkan hak istimewa untuk menghirup udara bebas," sambungnya.

Yustin menjelaskan bahwa korban F mengalami dampak psikologis dan trauma berkepanjangan. Selain itu, F juga mendapatkan sanksi sosial karena dianggap sebagai penyebar aib di komunitasnya.

Saat ini, korban F telah berhenti sekolah karena menjadi korban bullying dari teman-teman sekolahnya. Tak hanya itu, dia juga sempat dipaksa menikah oleh tokoh-tokoh adat di daerahnya.

"Tokoh-tokoh adat di sekitar korban memaksa korban untuk menikah dan korban memutuskan berhenti dari sekolah karena teman-teman dan beberapa di komunitasnya itu menyingkirkan korban dan sering melakukan pembullyan. Atas pemaksaan pernikahan, korban sempat terusir dari kampung halaman, namun saat ini sudah kembali lagi," ujar Yustin.

Sikap Komnas Perempuan

Siti Aminah Tardi dari Komnas Perempuan menjelaskan bahwa korban kekerasan pada anak perempuan terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2018 ada 1.417 kasus dan tahun 2019 ada 2.341 kasus. Ini artinya, terjadi peningkatan 65 persen kekerasan terhadap anak perempuan. Sementara itu, dua bentuk tertinggi adalah kekerasan seksual dalam komunitas ataupun berbentuk inces.

Siti menjelaskan bahwa kasus F ini menjadi begitu penting karena kekerasan seksual dilakukan pejabat publik. Ada dugaan penyalahgunaan kekuasaan dilakukan sehingga pelaku belum dihukum.

"Pejabat publik memiliki kewenangan yang disalah gunakan untuk melakukan kekerasan seksual. Ada kewajiban moral untuk melindungi perempuan, dalam hal ini tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap perempuan dan anak, termasuk kekerasan seksual," ujar Siti.

"Wakil bupati sampai saat ini tidak ditahan, kami khawatir ketika posisi sudah menjadi Bupati (Plt), dia memiliki power lebih menggunakan relasi dan jaringan untuk menunda pemenuhan keadilan. (TB) sebagai perantara dipidana, tapi pelaku yang mengeksploitasi anak tidak dipidana," sambungnya.

Hingga kini, pelaku belum menjalani pemeriksaan dan penahanan karena berstatus pejabat publik. Siti menjelaskan, ketika pelaku adalah pejabat publik, di dalam UUD Pemerintahan Daerah ada ketentuan untuk meminta pernyataan tertulis dari Mendagri untuk melakukan penyidikan.

"Kalau izin sudah diminta, tapi dalam waktu 30 hari belum turun, maka tetap dapat dilakukan penyidikan dan penahanan. Karena ini melibatkan orang yang berkuasa, mungkin ada hambatan di tingkat daerah untuk penyidikan dan penahanan," ucapnya.

Simak juga langkah-langkah mencegah pelecehan seksual pada anak, di video berikut:

[Gambas:Video Haibunda]

(ank/som)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda