HaiBunda

TRENDING

Permendikbud No 30 Tahun 2021 Dituding Legalkan Zina, Ini Bantahan Kemendikbud Bun

Tim HaiBunda   |   HaiBunda

Kamis, 11 Nov 2021 12:51 WIB
Ilustrasi/ Foto: Edi Wahyono
Jakarta -

Beberapa waktu lalu santer terdengar sebuah kasus pelecehan seksual yang dialami oleh seorang mahasiswi yang berasal dari Universitas Riau (Unri), Bunda. Kabarnya, ia mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari sang dosen yang merupakan petinggi kampus saat melaksanakan bimbingan skripsi.

Kasus kekerasan seksual memang kerap terjadi di lingkungan pendidikan, Bunda. Baik di sekolah maupun kampus. Karena itu, Mendikbud-Ristek, Nadiem Makariem, telah meneken peraturan terbaru yakni Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kesehatan Seksual (PPKS).

Sayangnya, banyak hal yang menjadi kontroversi dalam Permen PPKS ini, Bunda. Bahkan ada yang menuding kalau aturan ini seakan melegalkan zina.


Permendikbud No.30 Tahun 2021 yang jadi kontroversi

Lantas apa saja isi dari Permendikbud No.30 Tahun 2021 yang membuat kontroversi dan bagaimana tanggapan dari Kemendikbud-Ristek melihat hal ini? Simak penjelasannya lengkapnya berikut ini, Bunda:

  • Pasal 1 (ayat 14) tentang Kewajiban Pembentukan Satuan Tugas, yang berbunyi:

14. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang selanjutnya disebut Satuan Tugas adalah bagian dari Perguruan Tinggi yang berfungsi sebagai pusat Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

  • Pasal 3 tentang Prinsip Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
    Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilaksanakan dengan prinsip:
  1. kepentingan terbaik bagi Korban;
  2. keadilan dan kesetaraan gender;
  3. kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas;
  4. akuntabilitas;
  5. independen;
  6. kehati-hatian;
  7. konsisten; dan
  8. jaminan ketidakberulangan.
  • Pasal 5

(1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
d. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
i. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian
tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
n. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
r. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
s. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
t. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
(3) Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m,
dianggap tidak sah dalam hal Korban:
a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
g. mengalami kondisi terguncang.

Terkait dengan dugaan pelegalan zina, hal ini telah dibantah oleh Plt Dirjen Pendidikan Tinggi dan Ristek, Nizam, Bunda. Penasaran dengan tanggapannya?

TERUSKAN MEMBACA KLIK DI SINI.

Bunda, simak juga video jangan anggap pelecehan seksual itu normal Bunda berikut ini:



(mua/mua)

TOPIK TERKAIT

ARTIKEL TERKAIT

TERPOPULER

KPR Lunas, Andhara Early Gunting Semua Kartu Kredit agar Tak Lagi Berutang dan Hindari Riba

Mom's Life Annisa Karnesyia

Sudah Punya 11 Anak, Bunda Ini Umumkan Kehamilan Ke-12 dan Jadi Sorotan Netizen

Kehamilan Annisa Karnesyia

Pindah ke Australia, Begini Persiapan Indra Bekti dan Aldila Jelita

Mom's Life Amira Salsabila

Psikolog Ungkap Anak yang Telat Diberi HP Cenderung Lebih Bahagia Saat Dewasa

Parenting Nadhifa Fitrina

Gracia Indri Ajak Anak & Suami Bule Pulang Kampung ke Indonesia, Intip 7 Potret Keseruannya

Mom's Life Nadhifa Fitrina

REKOMENDASI
PRODUK

TERBARU DARI HAIBUNDA

73 Lagu Rohani Kristen Terbaik dan Terpopuler, Penyembahan & Pujian Syukur

7 Cara Menghadapi Mertua Egois yang Selalu Memaksakan Kehendak

5 Fakta Menarik tentang Sekuel KPop Demon Hunters 2029

3 Resep Sarapan Anti-inflamasi yang Bisa Mengurangi Peradangan, Cuma 10 Menit!

Psikolog Ungkap Anak yang Telat Diberi HP Cenderung Lebih Bahagia Saat Dewasa

FOTO

VIDEO

DETIK NETWORK