Jakarta -
Hidup tenang dan bahagia menjadi impian setiap
pasangan suami istri. Tapi rasanya, hal itu tak terlalu beraku untuk kehidupan pernikahan kami.
Aku dan istriku, Nina memilih untuk keluar dari zona nyaman yang kami jalani. Setahun setelah pernikahan kami, Nina diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Strata 2 (S2) di University of Adelaide, Australia.
Tentu, hal ini menjadi kebahagiaan tersendiri untuk kami berdua. Sejak awal menikah, sudah menjadi komitmen kami untuk saling support dan tidak mengubah kebebasan masing-masing. Terutama aku, sebagai seorang suami ingin membebaskan Nina untuk melakukan segala yang dia inginkan. Termasuk kuliah di luar negeri.
Sebagai pasangan
scholarship hunter, kami saling mendukung satu sama lain. Hanya saja, ketika itu Nina yang mendapatkan beasiswa Australia Awards Scholarships (AAS). Untuk membuktikan dukunganku pada Nina, aku pun memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Tak dipungkiri kalau keputusan itu sangat berat untukku. Sebagai kepala rumah tangga, tak mudah meninggalkan pekerjaan yang sudah ku geluti selama bertahun-tahun, demi memberi dukungan kepada istri yang akan menempuh studi ke Australia.
Waktu itu, aku hanya pasrah saja karena belum kebayang mengenai apa yang akan ku lakukan sepulang dari Adelaide nantinya. Pertimbangan keluarga besar akhirnya membulatkan tekadku untuk ikut menemani Nina meraih gelar master. Kata mereka, urusan pekerjaan bisa dicari lagi nanti.
Sebagai bentuk dukungan lainnya, aku dan Nina memutuskan untuk tidak memulai program momongan dulu. Hal itu kami lakukan agar tidak mengganggu kelancaran studi Nina selama di sana. Padahal kedua orang tuaku sudah mendesak kami agar segera memberi cucu.
Maklum saja, aku anak tunggal. Wajar kalau orang tuaku ingin ada anggota baru yang meramaikan keluarga kami. Sebelumnya, Nina harus mengalami keguguran di awal-awal pernikahan kami.
Selama tiga tahun, saat Nina aktif kuliah master hingga selesai kami menikmati kebersamaan kami berdua. Nina berhasil meraih gelar S2 dalam kurun waktu 1,5 tahun.
Selama itu pula, perjuanganku sebagai kepala rumah tangga di pertaruhkan. Ikut istri ke negeri seberang, tak lantas membuatku diam seharian di rumah menunggunya pulang kuliah.
Kebutuhan hidup membuatku harus rela banting setir, jadi pekerja serabutan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bantuan finansial diberikan hanya untuk penerima beasiswa. Sedangkan keluarganya, atau aku tak masuk ke dalam tanggungan dana beasiswa.
Aku pun mencoba segera beradaptasi dengan kehidupan baruku di sana. Sekitar 1,5 bulan mencoba menyesuaikan diri untuk mempelajari budaya baru. Terutama mengenai kedisiplinan, seperti menunggu bus, cara menyetir di jalanan, berusaha tepat waktu, dan hal-hal kecil layaknya antre di kasir.
Setelah dua bulan tinggal di Australia, akhirnya aku memulai debut sebagai pekerja lepas. Mulai dari cleaning service, hingga bekerja di perkebunan rela aku jalani untuk mengisi tabungan kami.
Sebagai anak tunggal yang biasa dimanja, tentu pekerjaan kasar seperti ini berat untukku. Biasa mengajar mahasiswa yang rapi dan wangi, kini aku harus terbiasa memanen dan memanggul strawberry. Ya, pertama-tama kali bekerja, aku diterima sebagai pegawai perkebunan strawberry.
Jarak tempuh dari kosan kami ke perkebunan itu membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam, dengan jarak tempuh 40 Km. Tak bisa dipungkiri pekerjaan itu menjadi sangat berat untukku. Lalu, akupun memutuskan untuk berhenti.
Waktu berganti, dan aku pun kembali di terima di sebuah perkebunan tomat. Setidaknya, pilihan itu lebih baik karena jaraknya relatif lebih dekat. Untuk mencapai ke sana, aku hanya butuh waktu sekitar 45 menit.
Saat itu, ku buang jauh-jauh perasaan malu dan gengsi. Di Indonesia boleh orang memanggilku dengan sebutan 'Pak Dosen' tapi di sini aku rela melakukan apapun agar bisa menabung untuk masa depan kami.
"Kamu malu enggak, kalau aku kerja di kebun tomat?" tanyaku pada Nina.
"Aku lebih malu kalau suamiku belum dapat kerjaan. Soalnya disini, spouse yang ikut sudah pada kerja semua," jelas Nina.
"Aku malah 'bangga' karena kamu bisa dapat kerja di kebun. Kenapa? Karena rate gajinya lumayan, dan enggak banyak orang Indonesia yang dapat kerja di situ."
Untungnya, orang-orang di lingkungan kami sangat menghargai orang lain. Mereka tidak pernah membedakan jabatan dan pekerjaan kami. Itu menjadi salah satu penguat untukku selama menjalani profesi sebagai 'tukang kebun'.
Bahkan, saking nyamannya dengan pekerjaan dan lingkungan baru, aku jadi kelewat percaya diri. Hingga pernah suatu ketika, sepulang kerja dengan masih mengenakan pakaian kebun yang mirip dengan gelandangan aku masuk ke mal. Respon orang-orang pun santai dan aku diperlakukan dengan baik. He-he-he.
Selama bekerja di kebun tomat, suka dan duka sudah banyak aku lalui. Titik paling berat ketika harus bekerja di tengah terik musim panas. Saat summer, cuaca Adelaide bisa mencapai 43 derajat. Biasa tinggal di Malang, Jawa Timur yang sejuk rasanya sangat berat untukku. Sebagai pertahanan, aku hanya mampu minum air sebanyak-banyaknya, agar enggak dehidrasi.
Namun, itu bukan halangan untuk membuat kami berhenti berusaha. Malah, aku memberikan hadiah spesial untuk istri tercintaku. Nina ku beri hadiah liburan ke Jepang selama 10 hari untuk solo travelling. Itu adalah rewards karena dia sudah belajar sedemikian keras, dan juga sempat bekerja membantu keuangan kami walau hanya sebentar.
Setahun sudah terlewati, hingga tiba kelulusan Nina dan kami harus pulang ke Indonesia. Gelar master menjadi kado terindah bagi perjuangan kami berdua. Sisa tabungan selama bekerja tomat kami investasikan untuk membeli rumah dan mobil.
Oh ya, sebagai informasi, saat bekerja di kebun strawberry aku mendapat bayaran 13 dolar Australia per jam. Kalau dikonversi ke Rupiah saat ini kisaran Rp125 ribu. Aku bekerja selama delapan jam sehari. Itu artinya, per hari aku mendapat gaji Rp1 juta.
Sedangkan waktu bekerja di kebun tomat aku mendapat gaji 20 dolar Australia per jam. Kemudian aku bekerja setiap harinya selama 7,5 jam. Itu artinya, aku bisa menghasilkan uang sampai kisaran Rp1,5 juta per hari.
Kami pulang ke Indonesia di awa 2014, dan setibanya di Tanah Air kami menjalani kehidupan seperti dulu. Nina kembali ke kampus dan menjadi dosen. Sedangkan aku, mendapat keberuntungan untuk balik ke kampus tapi dengan pekerjaan berbeda.
Perbedaan gelar, membuatku tak bisa melamar sebagai dosen kembali. Untungnya, pengalaman tinggal di Australia membantuku banyak belajar untuk meningkatkan skill Bahasa Inggris. Sehingga aku dipercaya untuk memegang program kampus yang berkaitan dengan kedatangan mahasiswa asing.
Semua ku lakukan dengan ikhlas. Hingga setahun kemudian, anak pertama kami lahir. Gadis kecil nan cantik itu melengkapi kebahagiaan kami sebagai pasangan suami istri.
Tuhan pun mendengarkan doa lainnya. Kebahagiaan kami tak berhenti sampai di situ. Pada tahun 2016, akhirnya aku berhasil mendapat beasiswa untuk mencicip pendidikan S2 di Monash University. Segala doa dan syukur rasanya tak berhenti ku ucap saat itu.
Kami berangkat ke Melbourne di awal Februari 2017. Bedanya, kali ini kami berangkat bertiga. Ada si kecil yang menjadi penyemangat langkahku bersama Nina.
Perasaan kalah terhadap pencapaian istri, sedikit demi sedikit mulai bisa ku bayar. Aku pun akhirnya berkesempatan untuk meraih gelar master dari kampus bergengsi di luar negeri.
Namun, kepergian kami ke Negeri Kanguru kali ini lebih berat dari sebelumnya. Berbagai rentetan masalah harus ku hadapi hingga nyaris gila. Ya, tak berlebihan kalau aku bilang nyaris gila menggambarkan kondisiku.
Pada Oktober 2017, musibah pertama kami alami. Rumah kosan kami di Melbourne mengalami kebakaran hebat. Membuat aku dan Nina harus membayar ganti rugi sebanyak Rp80 juta. Rasanya sesak di dada saat harus utang sana-sini untuk menutupi kebutuhan tersebut.
Selang beberapa bulan, musibah kembali menerpaku. Rasanya bagai tersambar petir saat menerima telepon dari kampung halamanku, di Lumajang, Jawa Timur. Ayahku dikabarkan meninggal dunia di bulan Februari 2018.
Sebagai anak tunggal, ada perasaan sesak yang tak tergambarkan ketika mengetahui bapak telah tiada. Kondisi di Australia tak memungkinkan kami kembali saat itu juga.
Hanya doa dan keikhlasanku yang mengantar bapak ke peristirahatan terakhir. Cobaan tak hanya berhenti sampai di sini, karena pada April 2018 kabar duka kembali menghampiriku.
"Kenapa?" tanya Nina melihat wajahku yang tiba-tiba pucat.
"Emak, Emak,
Inalillahiwainnaillahirajun," jawabku pendek menjawab pertanyaan Nina.
Kaki lemas seketika saat mendengar suara saudaraku di ujung telepon. Wanita yang paling kucintai menyusul belahan jiwanya. Ya, ibuku meninggal dua bulan setelah kepergian bapak.
Suasana seketika senyap. Hati rasanya sesak tak karuan. Semua terasa gelap, langit pun terasa runtuh. Ku pandangi Nina dan anak semata wayang kami.
Ada perasaan sakit tak tergambarkan ketika aku tak bisa mengatarkan ibu dan bapak ke liang lahat. Lagi-lagi, hanya doa yang terucap dari bibirku untuk almarhumah emak.
Tiga kejadian besar itu mempengaruhi kondisi batin dan jiwaku. Rasanya gila mengingat-ingat semua kejadian yang menimpaku.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, aku sampai harus mendatangi psikiater hingga dua kali. Kehadiran Nina dan Ishtar menjadi kekuatan paling besar untuk bangkit.
Sedikit demi sedikit, aku bangkit dari keterpurukan. Selama hampir tiga bulan, akhirnya aku bisa hidup normal, dan menerima keadaan. Untungnya, aku bisa lulus tepat waktu dan beberapa mata kuliah mendapat nilai sangat memuaskan.
Kini, kami telah kembali ke Indonesia dan menikmati hari-hari kami sebagai
orang tua dan dosen. Berbagai suka dan duka dalam mengejar pendidikan hingga karier , semakin menguatkan aku dan Nina sebagai
pasangan suami istri.
Semoga bermanfaat.
(Kisah Ayah Mawan dan Bunda Nina - Malang, Jawa Timur)Simak juga kisah inspiratif dari Mona Ratuliu!
(rap/muf)