CERITA BUNDA
Hancur Hatiku! Suami Nekat Pensiun Dini, Gagal Usaha Malah Jadi Beban Ortu
Sahabat HaiBunda | HaiBunda
Senin, 21 Sep 2020 19:09 WIBPerkenalkan, saya ibu dari dua anak. Sejak kecil saya biasa hidup terpisah dari orang tua. Tepatnya di usia 5 tahun, saya mulai masuk pesantren. Hal ini berlanjut hingga jenjang SMA, saya hidup di pesantren. Tidak ada paksaan, saya menuruti kemauan orang tua saya dengan senang hati. Hingga masa perkuliahan pun, saya kembali hidup terpisah dengan orang tua saya.
Berpisah dengan orang tua menjadi hal yang biasa buat saya, justru saya merasa tidak betah jika terlalu lama di rumah. Beberapa hari pertama, tidak ada masalah. Tapi beberapa hari berlalu, pasti ada saja konflik. Kebanyakan dari hal sepele sebenarnya, tapi karena saya memang jarang di rumah sejak kecil, jadi suasana seperti ini membuat saya tidak nyaman.
Setelah menikah, saya langsung hijrah ke Batam. Saya senang meski harus pergi jauh, dari Kediri pindah menyeberangi lautan bermil-mil jauhnya. Ini pengalaman baru buat saya, dan saya sangat menikmati hari-hari tinggal di Batam meski tanpa sanak saudara.
Tepatnya setelah 2 tahun tinggal di Batam, kantor tempat suami saya bekerja memberlakukan pensiun dini kepada beberapa karyawannya. Sebenarnya nama suami saya tidak termasuk, tapi ia mengajukan namanya tanpa izin terlebih dahulu dengan saya.
Suami kemudian memberitahukan hal tersebut secara mendadak pada saya, bahwa kami akan pulang habis (istilah pulang kampung selamanya) kembali ke Jawa. Banyak hal berkecamuk dibenak saya, dimana kami akan tinggal, pekerjaan suami, dan lain sebagainya.
Suami memutuskan untuk berdagang sayur melanjutkan usaha orang tuanya. Dalam hal ini, saya yakin nantinya pasti akan berkonflik dengan orang tua saya. Mereka pasti tidak setuju dengan alasan suami saya yang bergelar S1 memilih jualan sayur di pasar. Padahal, masih banyak pekerjaan yang lebih layak daripada harus berjualan sayur dan kebutuhan dapur di pasar tradisional.
Apalagi background keluarga juga termasuk yang sangat mengutamakan pendidikan. Adik saya lulusan kedokteran dari sebuah universitas di Surabaya. Sedangkan sepupu-sepupu saya juga banyak yang lulusan dari universitas di luar negeri. Ini menjadi ketakutan tersendiri di benak saya, untuk menghadapi keluarga nantinya.
Menghadapi kondisi ini, saya mulai menjual beberapa barang pribadi yang kami punya, sebagian saya berikan kepada tetangga depan rumah yang sudah saya anggap seperti keluarga. Hancur saat itu hati saya, karena saya berharap banyak dari pulau kecil ini. Meski pada dasarnya kebutuhan kami pas-pasan, tapi setidaknya kami bisa mandiri.
Tiba saatnya kami kembali ke pulau Jawa. Semua tetap saja berat, meski orang tua menjemput dengan senang hati saat di bandara, tapi hati saya tetap saja berkecamuk. Tak lama sesampainya di kampung, suami mulai berjualan. Ia membeli sapi dari uang pesangon, dan beberapa barang penunjang yang tidak ada di rumah mertua. Seperti mesin cuci dan kulkas, karena ia memutuskan tinggal bersama orang tuanya dan saya setuju.
Karena anak masih PAUD, jadi saya sering tinggal di rumah orang tua untuk beberapa hari. Setelah itu, balik lagi ke rumah mertua. Kami terutama saya tinggal berpindah-pindah demi agar mertua dan orang tua bisa bercengkrama dengan cucu-cucu mereka.
Dua tahun berselang, kondisi perekonomian kami tidak kunjung membaik. Uang pesangon habis tak bersisa, suami mulai mencoba bertani, tapi gagal karena mungkin kurang berpengalaman. Saat itu uang yang kami habiskan hampir 15.000.000 bahkan lebih. Sapi yang kami beli akhirnya kami jual untuk biaya persalinan anak kedua, yang qadrullah harus lahir melalui operasi caesar.
Selang setahun, anak kedua kami sakit. Bahkan harus pindah 2 rumah sakit untuk opname dengan diagnosa phenumonia dan demam berdarah. Posisi kami tidak pegang uang banyak, otomatis orang tua saya yang menyelasaikan semua biaya rumah sakit. Ini baru permulaan orang tua saya turun tangan, terutama masalah keuangan. Belum lagi suami pinjam untuk modal jualan, ibu pun sering memberikan uang yang jumlahnya tidak sedikit.
Saya jadi sungkan (segan) jika terus dibantu seperti ini, belum lagi saya juga harus memikirkan perasaan suami saya. Bagaimanapun kepala rumah tangga pasti punya harga diri, saya faham. Jadi ketika orang tua ingin memberi pinjaman atau memberikan uang, saya akan ijin terlebih dahulu.
Pelajaran yang saya ambil adalah jika kita memutuskan untuk memulai usaha di kampung halaman banyak hal yang harus dipersiapkan selain modal. Mental dan juga antisipasi jika usaha yang kita rintis mengalami kegagalan.
Harapan saya saat ini semoga bisa segera mandiri, tidak merepotkan orang tua atau kerabat, bisa menyelesaikan beberapa utang piutang, dan tentunya suami saya diberi kesehatan fisik dalam mencari nafkah. Amiin.
Semoga kisah yang saya tuturkan ini bisa diambil hikmahnya, sekian.
(Cerita Bunda Lia - Kediri, Jawa Timur)
Mau berbagi cerita, Bunda? Share yuk ke kami dengan mengirimkan Cerita Bunda ke email redaksi@haibunda.com. Bunda yang ceritanya terpilih untuk ditayangkan, akan mendapat hadiah menarik dari kami.
Bunda, simak juga yuk jatuh bangun usaha Shopie Navita dan Pongki untuk bangun rumah di Bali, dalam video berikut: