Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

cerita-bunda

Kutinggalkan Modeling, Kini Berteman Daster & Sapu Demi Urus Anak Sakit Parah

Sahabat HaiBunda   |   HaiBunda

Jumat, 18 Dec 2020 19:51 WIB

Closeup on tired woman in striped t-shirt and white pants with spray bottle of green cleaning supplies and yellow brush laying on white carpet at home in sunny day.
Ilustrasi Cerita Bunda/ Foto: Getty Images

Jalan hidup memang hanya Allah yang tahu. Siapa sangka jika hari-hariku dulu dipenuhi gemerlap lampu dan flash kamera, sekarang berubah drastis. Tak ada lagi high heels, baju glamor nan mewah, hingga tepuk riuh dari penonton.

Sehari-hari, kini hanya daster yang menempel di badanku. Dunia model yang dulu membesarkan namaku, kini berganti dengan rintih dan tangis anakku. Aku terpaksa meninggalkan karier sebagai model karena anak semata wayangku membutuhkan perhatianku 24 jam sehari.

Kenyataan bahwa anakku sakit dan membutuhkan perhatian ekstra membuatku harus mengalah terhadap pekerjaan sekaligus passion-ku. Bagiku yang dari remaja sudah terbiasa berjalan di catwalk, ini bukan sebuah keputusan yang mudah.

Ya, sejak usia 14 tahun aku sudah berkecimpung sebagai model, hingga merasakan gampang cari uang untuk anak seusiaku kala itu. Bukan berniat pamer, tapi sebagai gambaran aku sudah bisa membiayai kuliahku sendiri.

Urusan membeli pakaian dan tas branded enggak perlu pikir dua kali. Bahkan, rasanya semua yang aku inginkan mudah sekali didapatkan. Sampai urusan mencari jodoh pun, aku selalu diberi kemudahan memilih calon suami idaman.

Ya, ketika suamiku yang saat itu masih menjadi pacarku melamar, aku enggak perlu pikir dua kali untuk menerimanya. Semua kriteria suami idaman ada padanya. Selain kemapanan, dia juga sosok family man yang setia.

Awal-awal pernikahan kami pun bahagia, bahkan teman-temanku pun mengaku iri melihat kehidupan kami. Mau liburan atau belanja bebas kami lakukan kapan saja, karena saat itu sama-sama berpenghasilan.

Setelah tiga tahun menikah, akhirnya aku hamil anak pertama. Rasanya saat itu bahagia, karena pernikahan kami semakin lengkap dengan kehadiran calon bayi. Berbagai persiapan dilakukan, mulai dari menyiapkan kamar bayi hingga printilan-printilannya.

Apalagi anakku adalah cucu pertama dari keluarga suami, jadi segala kebutuhan Si Oma juga excited menyiapkannya. Kebahagiaan kami berlanjut saat si putri cantik lahir. Kami cukup bersyukur melihatnya terlahir sehat, dengan fisik lengkap, dan normal.

Tapi, kebahagiaan itu mulai pupus saat si kecil berusia 2 bulan. Di tubuhnya mulai muncul bintik-bintik merah, yang membuatnya menangis terus. Bahkan lama-kelamaan ruam kemerahan di tubuh anakku meluas ke bagian wajah, leher, tangan hingga bagian tubuh lainnya.

Saat diperiksakan ke dokter, kami diberi tahu bahwa si kecil menderita dermatitis atopik. Sejak saat itu, kami harus berhati-hati merawatnya. Ia sama sekali tak bisa terkena panas. Sedikit saja kecolongan, tubuhnya akan gatal dan menimbulkan luka-luka basah di wajah dan bagian lain.

Rasanya duniaku hancur, melihat anak kesakitan terus setiap hari. Hal itu membuatku tak berani membawanya ke luar rumah karena takut akan membuatnya berkeringat.

Tapi, hantaman kedua membuatku begitu terpukul. Begitu juga dengan suami yang tak siap dengan kondisi anak kami yang ternyata memiliki penyakit langka dan tergolong parah.

Baca kisah selangkapnya di halaman berikut ya, Bunda.

Mau berbagi cerita, Bunda? Share yuk ke kami dengan mengirimkan Cerita Bunda ke email [email protected]. Bunda yang ceritanya terpilih untuk ditayangkan, akan mendapat hadiah menarik dari kami.

Bunda juga bisa menyimak cerita Joanna Alexandra yang tulus merawat anaknya yang sakit langka dalam video di bawah ini:

[Gambas:Video Haibunda]

Banner menyusui

Anak kami divonis sakit parah

Female volunteer bringing groceries to a senior woman at home

Foto: Getty Images/iStockphoto/CentralITAlliance

Saat itu kami masih optimis, dan mencoba berbagai pengobatan untuk mengupayakan kesembuhannya. Tapi, hingga kini Allah rupanya masih ingin kami bersabar. Meski belum membuahkan hasil, aku dan suami tak mau putus asa.

Melihat kondisi anak, suami dan mertua akhirnya memintaku untuk berhenti bekerja di luar rumah demi anak. Awalnya, aku masih menggunakan jasa 'Mbak' untuk merawat anak. Tapi kondisi keuangan yang goyah karena semua fokus ke pengobatan si kecil, jujur kami akui sudah tak mampu lagi membayar jasa asisten rumah tangga. Setiap bulannya butuh uang yang enggak sedikit untuk memeriksakannya ke dokter.

Apalagi pemasukan hanya dari kantong suamiku. Meski gajinya masih mencukupi kehidupan kami, tapi biaya untuk anak sangat besar. Mobil pun kami jual, dan kadang uang bulanan masih dikirim dari orang tua suami.

Jujur, malu rasanya menerima bantuan seperti saat ini. Tapi, kami benar-benar sudah kehabisan tabungan demi kesembuhan si kecil.

Tiap hari pun, kini aku hanya berteman sapu dan daster. Urusan rumah tangga seperti nyuci, nyapu, ngepel yang enggak pernah kusentuh dari kecil kini jadi teman akrab.

Daster sudah seperti pakaian rancangan desainer karena kenyamanannya. Jangankan tampil cantik, lipstik dan bedak pun mungkin kini sudah berdebu. Keluar rumah pun sudah tak pernah kulakukan, paling hanya sebatas ke tukang sayur.

Suami mungkin melas melihat kondisiku, tapi ia pun tak bisa berbuat banyak karena kondisi kami memang harus seperti ini dulu. Terpenting anak kami selamat dan bisa sehat seperti dulu. Mohon doanya ya, Bunda.


(rap/rap)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda