
cerita-bunda
Aku adalah Penulis Konten Berprestasi, tapi Ortu Malu & Anggap Aku Pengangguran
HaiBunda
Jumat, 02 Jul 2021 17:20 WIB

Iya. Bagi sebagian orang, menjadi penulis itu keren. Setidaknya itulah sebuah profesi yang mengandalkan skil otak di mana tidak semua orang bisa melakukannya. Diperlukan standar kualitas tulisan yang baik agar ada orang atau media yang mau membayar tulisan tersebut.
Dan, itulah profesiku selama enam tahun terakhir ini. Menjadi penulis konten yang keren. Tapi ternyata tidak membanggakan.
Baca Juga : 5 Tips Terbaik Buat Wanita Karier Milenial |
Mungkin benar apa ekspektasi masyarakat tentang lulusan sarjana. Kuliah itu harus kerja kantoran. Setiap hari pergi ke kantor. Rapi. Wangi. Gaji gede! Sayangnya itu hanya sebatas ekspektasi saja.
Aku pernah menjalani kerja kantoran selama enam tahun. Pergi pagi, pulang malam dengan baju rapi. Tapi ternyata itu tidak lantas membuatku bahagia. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Bahagia dengan pilihanku. Termasuk pilihan profesi.
Memiliki hobi baca sejak kecil membuatku hobi menulis juga. Dari hobi menulis inilah aku bergabung bersama beberapa komunitas kepenulisan yang perlahan mempertajam kemampuan literasiku.
Terlebih lagi ketika mendapat jodoh dari teman di komunitas. Sama-sama memiliki hobi menulis juga. Sadar mendapat dukungan penuh dari suami, akhirnya aku mantap memilih menulis sebagai profesi atau mata pencaharianku. Melepas status pekerja kantoran yang telah lama melekat.
Awal karier menulisku sederhana sekali. Setelah memutuskan resign dari posisi accounting di sebuah kantor konsultan pajak di Jakarta Pusat, ada seorang teman yang menawarkan padaku menjadi penulis konten. Mengisi artikel konten untuk website marketing yang dimilikinya.
![]() |
Meski fee per artikel tidak seberapa, aku menerima saja pekerjaan ini. Aku berpikir, sebagai freelancer, semakin banyak membuat tulisan maka akan semakin banyak pula fee yang akan aku dapatkan. Jadi aku bisa menentukan sendiri berapa banyak pendapatan per bulan yang kuinginkan. Jika ingin mendapat lebih banyak uang, ya tinggal perbanyak saja tulisan yang dihasilkan.
Meski sudah lama menulis, ternyata membuat tulisan konten tidak semudah yang dibayangkan. Aku harus lebih banyak lagi belajar bagaimana menulis untuk keperluan artikel konten. Karena teknik penulisan artikel konten ternyata tidak seperti menulis buku pada umumnya. Namun, karena dasar-dasar kepenulisan aku sudah paham, tidak perlu banyak waktu untuk bisa menyesuaikan diri dari penulis buku ke penulis konten.
Aku akhirnya sukses tapi apa kemudian orang tua berbangga hati? Tidak! Lihat kisahku di HALAMAN SELANJUTNYA...
Aku Enggak Keluar Rumah, Dianggap Pengangguran
Ilustrasi membaca/Foto: Agung Pambudhy
Sekian tahun berlalu. Karier kepenulisanku semakin meningkat tajam. Banyak job-job menulis yang kudapatkan. Tak hanya sebatas menulis artikel konten saja. Aku juga merambah menulis e-book, review produk, mengisi tulisan fiksi bersambung di sebuah majalah online, menulis novel online, dan berbagai ragam tulisan lainnya. Bahkan tak jarang aku diminta mengisi webinar atapun pemateri pada seminar kepenulisan baik online maupun offline.
Waktu yang lebih fleksibel inilah yang membuatku nyaman melakoni profesi sebagai seorang penulis. Aku masih bisa mendapat penghasilan sambil menjaga anak-anak di rumah.
Kerja tidak harus menggunakan baju seragam kantor dan makeup yang tebal seperti dulu lagi. Bahkan hanya dengan daster dan wajah polos tanpa polesan makeup pun aku masih bisa bekerja di depan laptop dengan nyaman.
Aku benar-benar menikmati profesi ini. Selain karena menjadi penulis adalah cita-citaku sejak kecil, bekerja sesuai hobi ternyata memang memberikan kepuasan tersendiri. Saking nyamannya, ketika sedang menyelesaikan berbagai naskah tulisan, aku seperti tidak bekerja. Tapi justru seperti sedang bermain namun dibayar. Inilah passionku. Dan inilah kepuasan dalam hidupku.
Sayangnya, rasa bangga menjadi penulis yang kurasa tidak serta merta membuat bangga kedua orang tuaku. Iya. Aku memang bekerja. Tapi tidak nampak bekerja.
Tidak seperti tetangga atau saudara lain yang ketika mereka bekerja terlihat secara fisik. Pergi pagi pulang malam dengan baju dan makeup yang terlihat meyakinkan. Aku hanya bekerja dari rumah. Bahkan seringnya aku bekerja di malam hari ketika anak-anak telah tidur. Inilah yang mungkin membuat aku terlihat seperti sarjana pengangguran.
Ketika ada tetangga yang bertanya, "Sekarang udah nggak kerja ya?"
Aku hanya bisa menjawab, “Bekerja di rumah. Jadi penulis".
![]() |
Mereka hanya mengangguk sekenanya. Entah paham atau tidak apa itu profesi penulis, aku tidak tahu. Yang pasti, ada beberapa dari mereka yang ketika bertemu selalu mengatakan “Sayang. Capek-capek kuliah akhirnya nggak kerja juga".
Aku hanya bisa menarik nafas panjang. Lalu membujuk hatiku untuk memaklumi sikap mereka. Mungkin saja mereka memang tidak tahu apa itu pekerjaan penulis konten. Yang mereka paham hanyalah ketika kuliah kerja itu harus kantoran.
Meski bekerja di rumah, tetap saja masih berstatus sebagai pengangguran. Apalagi tinggal di kampung di mana tidak banyak orang yang hobi membaca. Mungkin fakta seperti inilah yang membuat kedua orang tuaku benar-benar menyepelekan profesiku.
Meski beberapa tulisanku berhasil menembus media terkemuka, meski fee menulis perbulan yang kudapatkan sama seperti gaji kantoran, meski banyak seminar kepenulisan yang telah kuiisi, meski banyak tulisan novel online yang telah kuhasilkan, dan meski banyak di antara mereka yang paham dunia literasi memberi tepuk tangan padaku karena banyak prestasi kepenulisan yang kudapatkan, ternyata semua itu tidak serta merta membuat bangga kedua orang tuaku.
Karena yang mungkin membuat mereka bangga adalah sarjana ya kerja kantoran. Karena mungkin mereka malu dengan nyinyiran tetangga bahwa aku lulusan sarjana tapi hanya ngasuh anak di rumah saja. Padahal, ketika semua orang terlelap di malam hari, di situlah otakku berputar dan jemariku menari di atas keybord membuat banyak tulisan yang bisa menghasilkan uang.
Awalnya semua itu menjadi beban tersendiri. Tapi baiklah. Sepertinya memang perlu bersikap cuek dan sebodo amat dengan pandangan banyak orang.
Selama aku bahagia dengan pilihan profesi sebagai penulis, kenapa harus pusing memikirkan penilaian orang lain? Karena apapun yang terjadi, terlihat bekerja atau tidak, menurutku penulis itu profesi yang keren. Meski tidak membanggakan semua orang.
(Cerita Bunda Puji, Jawa Tengah)
Mau berbagi cerita, Bunda? Share yuk ke kami dengan mengirimkan Cerita Bunda ke [email protected] yang ceritanya terpilih untuk ditayangkan, akan mendapat hadiah menarik dari kami.
TOPIK TERKAIT
ARTIKEL TERKAIT

Cerita Bunda
Sedihnya Putriku Divonis Cacat Seumur Hidup, Kenapa Suami Selalu Menyalahkanku?

Cerita Bunda
Anakku Lahir Spesial Bertahan Hidup 2 Tahun, Kenapa Aku Ditanya Waktu Hamil Makan Apa?

Cerita Bunda
Ipar Lebay, Berawal dari Panci Masak Berujung 'Kompori' Suami Ceraikan Aku

Cerita Bunda
Suami 'Ketindihan' yang Tidak Kasat Mata Sejak Warung Kami Laku Keras

Cerita Bunda
Mau Berbagi Cerita, Bunda? Share Yuk dan Dapatkan Hadiah Menarik

Cerita Bunda
Aku Malas ke Arisan Keluarga karena Ipar Hamil Lagi
HIGHLIGHT
HAIBUNDA STORIES
REKOMENDASI PRODUK
INFOGRAFIS
KOMIK BUNDA
FOTO
Fase Bunda