Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

cerita-bunda

Suami & Keluarganya Bikin Stres, Aku Baby Blues dan Nekat Hampir Sakiti Anak

Sahabat HaiBunda   |   HaiBunda

Rabu, 14 May 2025 17:20 WIB

Mothers worried about raising children
Ilustrasi/Foto: Getty Images/iStockphoto/yamasan
Jakarta -

#HaiBunda, sebenarnya kisah ini sudah terjadi 5 tahun yang lalu yakni 2020. Namun.. Aku ingin kembali menuliskannya untuk sekadar meringankan beban hatiku. Karena meski lima tahun telah berlalu, rasa sakit itu masih ada.

Semua ini tentang sikap suami dan keluarganya yang kerap menyakitkan hati..

Saat itu, anak keduaku pada 2019 dengan operasi caesar. Pada Maret 2020, suamiku terkena PHK dari kantornya imbas COVID-19. Sejak saat itu, keuangan keluargaku limbung.

Karena tak bekerja, suamiku nyaris tidak mampu menafkahi keluarga sehingga aku yang akhirnya memutuskan untuk bekerja. Aku pun menjadi tulang rusuk sekaligus tulang punggung keluarga kami.

Akan tetapi, bukan itu yang menjadi sakit hati terbesarku, melainkan perlakuan keluarganya ketika Ayah mertuaku sakit.

Sekitar Juni 2020, beberapa bulan setelah suamiku menganggur, Ayah mertuaku terkena stroke. Aku masih ingat saat itu, pagi-pagi mertuaku menelpon suami sambil nangis-nangis. Minta semua anaknya berkumpul di rumah orang tuanya.

Suamiku adalah anak terakhir dari empay bersaudara. Aku berpikir masih ada kakak yang bisa datang duluan, nanti suamiku menyusul.

Kenapa aku bilang seperti itu? Karena saat itu kami memang benar-benar tidak punya uang untuk makan. Kami benar-benar dalam kondisi yang kacau, suami sedang kuminta mencari uang untuk sekadar beli beras dan bayiku terus menangis karena ASI-ku hanya sedikit. Bagaimana ASI-ku bisa banyak kalau perutku kosong karena belum makan sejak semalam?!

Tapi keluarga suamiku sepertinya tidak mau tahu. Mereka terus memaksa suamiku untuk datang ke rumah dengan mengatasnamakan bakti anak kepada orang tuanya. Ibu mertuaku selalu bilang bahwa anak laki-laki milik ibunya selamanya. Jadi harus lebih mementingkan ibunya daripada istrinya.

Aku bisa apa? Ya sudah. Dengan rasa lapar dan tidak tahu harus makan apa, aku mengizinkan suamiku datang ke rumah orang tuanya. Sampai sore hari, perutku semakin lapar. ASI-ku benar-benar kosong. Bayiku terus menangis.

Aku mencoba menelpon suamiku. Bukannya mendapat bantuan, aku malah dibilang istri laknat oleh suamiku. Istri yang tidak memperbolehkan anak berbakti pada orang tuanya. Dan yang lebih bikin aku menangis histeris saat itu juga, suara kakak iparku di belakang justru memaki-maki aku.

Bayangkan! Aku dalam keadaan lapar, ASI kosong, bayiku nangis terus, tapi justru malah diteriaki seperti mereka meneriaki binatang.

Apa yang terjadi selanjutnya? Aku seperti kena baby blues. Aku berlari keluar rumah seperti kesetanan. Aku terus berjalan menuju stasiun KRL terdekat. Sampai di sana, aku hampir membanting bayiku di depan stasiun...

Untunglah ada ibu-ibu dan seorang tukang ojek yang menolongku. Mereka mengambil bayiku dari gendonganku. Menyelamatkannya. Setelah itu aku menangis seperti kesetanan. Sambil mengucap sumpah serapah pada kakak ipar yang meneriakiku seperti meneriaki binatang.

Dia sudah menikah selama 7 tahun, tapi belum dikaruniai anak. Saat itu, aku berdoa semoga dia tidak akan pernah punya anak seumur hidupnya. Dan entah doaku dikabulkan atau tidak, sampai sekarang, saat usia pernikahannya sudah 12 tahun, dia belum juga punya anak.

Setelah aku tenang, ada ibu-ibu di depan stasiun yang memberiku makan dan minum. Perutku terisi dan otakku perlahan mulai waras. Aku mulai tenang dan bisa menggendong bayiku lagi. Sampai malam aku di sana. Sampai akhirnya suamiku menelepon dan meminta maaf.

Dia menjemputku di depan stasiun dan mengajakku pulang. Awalnya aku tidak mau, tapi ia terus membujuk agar aku mau pulang.

Peristiwa itu memang sudah berlalu 5 tahun. Tapi rasa perihnya masih terasa sampai sekarang. Suamiku memang sedikit berubah. Lebih memperhatikan istrinya daripada keluarganya. Tapi tetap saja. Keluarganya memandangku sebagai istri durhaka yang menjauhkan anaknya dari keluarga besarnya.

Aku tidak peduli. Rasanya aku tidak ingin menoleh lagi ke belakang. Sekarang kami memutuskan untuk tinggal jauh dari keluarga mertua demi menjaga kewarasan...

- Bunda D, Bogor -

Mau berbagi cerita juga, Bun? Yuk cerita ke Bubun, kirimkan lewat email [email protected]. Cerita terbaik akan mendapat hadiah menarik dari HaiBunda.

(pri/pri)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda