
cerita-bunda
Astagfirullah.. Baby Blues Membuatku Nyaris Mencekik Mati Si Kecil
HaiBunda
Rabu, 06 Oct 2021 17:20 WIB

Aku dan adik laki-lakiku tumbuh dalam keluarga yang harmonis, penuh kasih sayang, dan berkecukupan. Sejak kecil hampir semua kebutuhan serta keinginan selalu dipenuhi oleh orang tua kami.
Aku pun disekolahkan hingga S2 oleh orang tuaku dan hidup merantau di kota Yogyakarta. Di masa itu, aku sangat bahagia. Beban hidup sebatas memikirkan judul tesis yang tak kunjung di ACC ataupun janji konsul yang dibatalkan sepihak oleh dosen pembimbing.
Hingga akhirnya suatu pagi di akhir tahun 2020, sepupu laki-lakiku, sebut saja Fandi, tiba-tiba menghubungi. Ia mengatakan bahwa ingin mengenalkan dan menjodohkan aku dengan sahabat dekatnya. Kaget? Tentu saja.
Tapi aku teringat bahwa usiaku akan segera menginjak angka 25 tahun dan orang tuaku sudah semakin tua. Selama ini aku tidak pernah pacaran ataupun dekat dengan laki-laki karena aku memang ingin menikah dengan cara ta'aruf.
"Mungkin ini sudah saatnya," pikirku waktu itu. Akhirnya singkat cerita, setelah menjalani beberapa tahapan seperti bertukar CV, dibuatkan grup taaruf untuk saling tanya jawab, bertemu (dengan ditemani Fandi dan teman wanitaku), dan khitbah (meminangku secara langsung kepada kedua orang tuaku), aku pun setuju untuk menikah.
Rumah orang tuaku berada di salah satu kota di Sumatera dan suamiku tinggal di kota Jakarta sejak ia lulus SMA. Suamiku saat itu tidak sungkan ataupun berpikir panjang untuk pulang pergi antar-kota untuk mengurus keperluan pernikahan kami.
Suamiku adalah sosok yang pekerja keras. Ia membiayai hidup, kuliah, hingga S3 di Malaysia dengan hasil jerih payahnya sendiri. Ia sopan, berwibawa, humoris, taat beribadah, dan sangat berbakti dengan ibunya.
Saat kami berkenalan, suamiku sudah bekerja di salah satu perusahaan besar serta memiliki usaha kecil-kecilan. Terlepas dari latar belakang keluarganya yang serba kekurangan, suamiku berhasil tumbuh menjadi sosok yang mandiri serta sukses.
Setelah 6 bulan sejak pertama kali bertukar CV, kami pun menikah yang hanya dihadiri keluarga inti dan sedikit tetangga sehubungan dengan adanya pandemi COVID-19. Satu minggu pernikahan, kami masih tinggal di rumah orang tuaku dan semuanya masih terasa indah.
Namun, setelah itu keluar semua sifat aslinya. Lihat kelakuan suami yang bikin aku depresi di HALAMAN SELANJUTNYA, Bun.
Simak juga video berikut mengenai Tasya Kamila yang sempat hadapi baby blues.
Aku Stres dan Hampir Cekik Anak, Ya Allah...!
Ilustrasi baby blues/Foto: iStock
Setelah Minggu kedua pernikahan, aku dibawa oleh suamiku tinggal di Jakarta dan barulah terlihat semua sifat asli suamiku. Cemburuan, pemarah, egois, dominan, dan selalu curiga.
Semua kontak pria di HP-ku dihapus, tak bersisa. Aku tak boleh bersosial media, tak boleh main game, tak boleh mengobrol dengan tetangga, tak boleh menggunakan ponsel jika ia ada di rumah, tak boleh ini, tak boleh itu.
Mulai saat itu aku merasa hidupku terkekang karena sebelum menikah aku aktif dengan berbagai kegiatan organisasi. Belum lagi aku diminta untuk menjadi ibu rumah tangga dan mengerjakan semua pekerjaan rumah, mulai dari masak, cuci baju, cuci piring, menyapu, dan lainnya. Sedangkan aku sejak kecil tak pernah melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut karena orang tuaku mempekerjakan ART.
Suamiku? Tak sedikitpun ia membantu.
Satu bulan pun berlalu, aku belum juga hamil. Suamiku yang saat itu berusia 31 tahun sudah sangat menginginkan anak. Aku ditekan dan diminta makan ini-itu sesuai anjuran keluarganya agar aku cepat hamil. Alhamdulillah, setelah bulan kedua pernikahan,Tuhan percayakan aku untuk mengandung.
Ternyata hamil tak membuat suamiku berubah. Semasa mengandung, aku sangat sering menangis ketika selisih paham dan kesal dengan suamiku atau ketika aku lelah dan stres dengan pekerjaan rumah yang tak pernah habis. Keadaan rumah tangga kami semakin tidak stabil setelah usaha suamiku bangkrut karena dampak pandemi. Kami harus pindah ke kontrakan yang lebih kecil, mobil dijual, sedangkan uang tabungan sudah habis terkuras untuk acara resepsi di gedung mewah karena permintaan orang tuaku.
Perekonomian keluarga kami kacau, sedangkan aku yang sedang hamil tak diperbolehkan bekerja oleh suamiku. Belum lagi keluarga besarku yang bertanya kapan aku akan bekerja dan terus memperingatkan bahwa jangan sampai aku hanya menjadi ibu rumah tangga setelah disekolahkan tinggi.
Ditambah konflik antara suamiku dengan saudara kandungnya. Suamiku adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara, sehingga kehidupan rumah tangga kami sering dicampuri oleh mereka. Aku difitnah, dibilang tidak becus mengurus rumah tangga, cuek tidak pernah menghubungi dan mengakrabkan diri dengan keluarga, dan dicap sebagai penyebab suamiku bangkrut.
Keadaanku saat itu sangat terpuruk dan aku hanya bisa menangis meratapi nasibku. Aku menjaga rahasia dan semua kepahitan dari orang tuaku karena aku tak ingin mereka khawatir.
Akhirnya setelah sembilan bulan, aku melahirkan. Orang tuaku datang menjenguk untuk melihat cucu pertama mereka. Aku melahirkan putra mungil yang tampan. Selama hamil bayiku di vonis IUGR (pertumbuhan janin terganggu) sehingga beratnya tidak sesuai usia kehamilan. Betapa khawatirnya aku ketika saat lahir, tubuh bayiku biru tak menangis. Bidan sibuk menepuk-nepuknya dan menyedot lendirnya hingga akhirnya ia menangis.
Akupun ikut menangis. Akhirnya kami bertemu. Anakku, yang menjadi kekuatanku selama ini.
Kehidupanku penuh suka cita di satu minggu anakku lahir. Aku tak perlu melakukan pekerjaan rumah tangga karena orang tuaku menyewa orang serta membeli makan siap saji. Tak berlangsung lama, seminggu kemudian orang tuaku pulang karena harus kembali bekerja.
Semua pekerjaan rumah kembali aku yang mengerjakan. Belum lagi kurang tidur karena harus menyusui dan mengganti popok anakku. Sikap suamiku memang sedikit berubah setelah melihat perjuanganku melahirkan putranya, namun ia tetap tak membantu pekerjaan rumah.
Rasa lelah, stres, dan hormon membuatku hilang kendali. Malam itu, aku hampir membunuh anakku. Suamiku harus bekerja shift malam sehingga aku tinggal di kontrakan berdua dengan anakku yang masih berusia 12 hari.
Tubuhku yang lelah dan membutuhkan istirahat setelah seharian melakukan pekerjaan rumah terbangun karena rengekan anakku. Entah kenapa malam itu ia sangat rewel dan terus menangis hingga jam 2 malam. Aku ganti popoknya, kususui, dan kubacakan do'a, akhirnya jam setengah 3 ia pun tertidur. Aku kembali tidur.
Namun Lagi-lagi, kudengar tangisannya jam 3 subuh. Emosiku memuncak, dan entah setan apa yang ada di dekatku saat itu, kuambil anakku, kudekap ia erat-erat di dadaku, sangat kuat, seolah-olah aku ingin membunuhnya.
Tapi aku segera tersadar dan beristighfar. Astagfirullah…astagfirullah…!
Aku menangis tengah malam itu, tak peduli dengan tetangga, hanya menangis dan berteriak sejadi-jadinya. Aku tatap wajah anakku, aku dekap ia kembali penuh penyesalan. Tak henti-hentinya aku menangis dan meminta ampun.
Kepada anakku pun aku tak henti meminta maaf. Sepertinya kusadari bahwa aku mengalami Baby Blues. Akhirnya aku tak bisa tidur hingga pagi menjelang. Suamiku pulang, melihat kondisiku yang sudah seperti orang tak waras.
Rambutku berantakan, mataku bengkak dan sayu, aku diam seribu bahasa dengan tatapan kosong. Dengan penuh kelembutan, suamiku memeluk dan mengelus kepalaku.
"Ada apa?" Tanyanya.
Aku diam, masih dengan tatapan kosong.
"Maaf ya. Aku tidak memperlakukanmu dengan baik selama ini, padahal kamu adalah istri terbaik yang Allah berikan kepadaku. Terima kasih ya, kamu sudah banyak berjuang untuk keluarga kita. I love you, now, tomorrow and till jannah, Insya Allah. Aku janji akan menjadi suami yang lebih baik,” ujarnya.
Hingga kini masih teringat jelas kalimat yang waktu itu dilontarkan oleh suamiku. Selama kami menikah, tak pernah sekalipun ia mengatakan bahwa ia mencintaiku, akhirnya air mataku tumpah ruah. Aku kembali menangis, namun tanpa suara.
Kami berpelukan dalam diam. Setelah aku tenang, suamiku membuatkan susu coklat hangat kesukaanku dan akhirnya aku menceritakan semua yang kurasakan selama ini.
Alhamdulillah, sejak saat itu suamiku terus berubah menjadi lebih baik. Semua peraturan yang kurasa memberatkan sudah dicabut, kecuali peraturan tentang hubungan dengan laki-laki. Sekarang rumah tangga kami sudah semakin baik, akupun juga mulai terbiasa dengan tugas sebagai ibu rumah tangga.
Jagoan kecilku pun sekarang tumbuh dan berkembang dengan baik. Aku benar-benar bersyukur kepada Tuhan karena sekarang aku merasa bahagia.
(Bunda MM, Jakarta)
Mau berbagi cerita, Bunda? Share yuk ke kami dengan mengirimkan Cerita Bunda ke [email protected] yang ceritanya terpilih untuk ditayangkan, akan mendapat hadiah menarik dari kami.
TOPIK TERKAIT
ARTIKEL TERKAIT

Cerita Bunda
Aku Sering Nangis setelah Si Bungsu Lahir, Bersyukur Suami Lebih Perhatian saat LDR

Cerita Bunda
Mertuaku Tipe 'Riweh Tidak Jelas', Hanya Memperparah Baby Bluesku Saja

Cerita Bunda
'Diteror' Keluarga untuk Menyusui 2 Batita, Aku Depresi & Jadi Sakit-sakitan

Cerita Bunda
Saya Ajak Sahabat Nginep, Jadi Ketahuan Ternyata Dia Nggak Suka Sama Bayinya

Cerita Bunda
Wajah Polos Si Kecil Hilangkan Kegilaanku karena Depresi Postpartum

Cerita Bunda
Ibuku Kejam, Sampai Membuatku Ingin Bunuh Diri Bareng Anak
HIGHLIGHT
HAIBUNDA STORIES
REKOMENDASI PRODUK
INFOGRAFIS
KOMIK BUNDA
FOTO
Fase Bunda