Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

kehamilan

Penyebab & Bahaya Inkontinensia Urine, Kebiasaan Ngompol pada Wanita Dewasa

Dr. dr. Suskhan Djusad, Sp.OG (K)   |   HaiBunda

Kamis, 01 Oct 2020 08:03 WIB

Dokter Sisipan
Dr. dr. Suskhan Djusad, Sp.OG (K)
Kepala departemen obstetri dan ginekologi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Dosen Senior di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
ilustrasi vagina
Penyebab & Bahaya Inkontinensia Urine, Kebiasaan Ngompol pada Wanita Dewasa/ Foto: ilustrasi/thinkstock
Jakarta -

Inkontinensia urine atau bahasa awamnya mengompol, menjadi ancaman kesehatan pada banyak wanita. Mengapa? Kondisi ini berbeda dengan ngompol yang dialami anak-anak. Pasien inkontinensia urine, tidak bisa menahan kencing karena ada masalah pada otot dasar panggul dan sfingter uretra (lubang keluarnya urine).

Secara definisi, inkontinensia urine adalah keluarnya urine yang tidak disengaja dan tidak terkendali, sehingga memicu gangguan higienitas dan lingkungan di sekitar kulit area kelamin.

Penyakit yang satu ini, umumnya lebih banyak dialami oleh wanita lanjut usia. Namun, tidak menutup kemungkinan bisa juga dialami wanita muda yang sudah pernah melewati kehamilan dan persalinan.

Sejauh ini, data wanita yang mengalami inkontinensia urine tercatat sebanyak 20-30 persen dari angka keseluruhan wanita secara global. Sedangkan dari data terakhir yang dirilis Sumardi R et al, pada tahun 2014, prevalensi wanita pengidap inkontinensia urine di Indonesia mencapai 13,5 persen. Angka yang tentunya tidak boleh kita pandang miring ya.

Angka pasien inkontinensia urine di Indonesia sendiri, terus bertambah. Meningkatnya kesadaran untuk memeriksakan diri membuat keluhan pasien inkontinensia urine tercatat semakin banyak setiap tahunnya.

Berbeda dengan zaman dulu, keluhan ngompol pada wanita semacam ini dianggap hal biasa. Padahal, inkontinensi urine menjadi masalah kesehatan yang tak boleh diabaikan begitu saja. Bahkan, untuk Bunda yang masih berusia muda sekalipun, harus waspada karena gejala inkontinensia urine bisa terjadi dari usia 25 tahun lho.

Tipe Inkontinensia Urine

Sebelum memulai pengobatan, bisanya pasien inkontinensia urine akan dikelompokkan sesuai dengan tipenya. Sehingga mendapat penanganan yang tepat saat pengobatan:

1. Inkontinensia urine desakan

Pasien tidak bisa menahan desakan buang air kecil, karena adanya desakan atau urgensi sehingga belum sampai ke toilet sudah mengompol duluan. Kondisi ini seringkali disebut overactive bladder. Untuk menandai tipe yang ini, biasanya frekuensi kencing Bunda terjadi lebih dari sekali pada malam hari.

2. Inkontinensia stress

Pasien yang mengalami inkontinensia stress akan mengompol apabila ada tekanan akibat batuk, tertawa, bersin. Dari semua jenis inkontinensia urine, tipe inilah yang paling sering dialami wanita di seluruh dunia. Prevalensinya sekita 40-60 persen dari jumlah wanita yang mengidap inkontinensia urine.

3. Inkontinensia terus-menerus

Pasien terus mengompol karena kandung kemihnya bolong akibat adanya fistula. Biasanya ini terjadi karena Bunda melewati proses persalinan yang lama, kepala janin tak kunjung keluar, dan terhambat di jalan lahir.

4. Inkontinensia overflow

Pasien yang mengalami inkontinensia overflow biasanya akan mengalami kesulitan kencing terlebih dulu. Lama-kelamaan mengakibatkan urine akan keluar sendiri karena sudah penuh, sehingga tumpah dari kandung kemih.

Penyebab dan faktor risiko

Penyebab utama inkontinensia urine sebenarnya karena terjadi perubahan anatomi uretra akibat beberapa aktivitas. Ada beberapa golongan wanita yang berisiko tinggi mengalaminya, di antaranya sebagai berikut:

1. Wanita melahirkan

Wanita yang sudah pernah melahirkan atau melewati proses persalinan lama, masuk dalam golongan yang berisiko tinggi mengalami inkontinensia urine. Proses pengeluaran kepala bayi yang berlangsung lama, menyebabkan ligamen pada panggul dan otot levator ani rusak. Sehingga melemahkan kemampuannya untuk menopang rektum dan uretra, yang berujung pada kebiasaan buang air kencing tanpa bisa dicegah.

Selain itu, bayi berukuran besar yang keluar melalui persalinan normal, lalu persalinan dengan alat seperti vakum juga berisiko membuat Bunda mengalami inkontinensia urine di kemudian hari.

2. Wanita yang angkat beban terlalu berat

Saat mengangkat beban terlalu berat, tanpa Bunda sadari akan mengejan. Lama-kelamaan, kebiasaan seperti ini akan membuat ligamen pada panggul juga lemah seperti wanita melahirkan. Misalnya wanita yang berprofesi sebagi lifter, sangat berisiko terkena inkontinensia stress.

3. Wanita obesitas

Kemudian, wanita yang mengalami obesitas juga berisiko mengalami inkontinensia stress. Hal ini diakibatkan oleh tekanan abdomen dari beban tubuhnya yang lebih tinggi.

4. Wanita pengidap diabetes melitus

Diabetes melitus juga menyebabkan gangguan pada organ berkemih, sehingga sebagian besar pengidapnya mengalami inkontinensia urine.

5. Wanita menopause dan lansia

Inkontinensia urine ini umum terjadi pada wanita lansia dan menopause. Ketika hormonal sudah terganggu, hilangnya estrogen sehingga tanda-tanda inkontinensia urine biasanya bermunculan.

Sayangnya inkontinensia urine pada lansia sering dipandang sebelah mata. Banyak yang menganggap hal ini tidak penting, mengingat usia lanjut, maka mengompol adalah hal wajar.

Gejala inkontinensia urine

Ada beberapa gejala yang timbul jika Bunda mengalami inkontinensia urine:

1. Frekuensi ke toilet sering

Frekuensi ke toilet yang terlalu sering bisa menjadi tanda wanita mengalami inkontinensia urine. Tak hanya itu, jika frekuensi kencing malam lebih dari satu kali maka ada kemungkinan Bunda mengalami kondisi ini.

2. Batuk, tertawa keluar kencing

Bunda yang tidak bisa menahan kencing setelah batuk, tertawa, atau bersin harus waspada terhadap gejala inkontinensia urine. Ketiga hal tersebut bisa menjadi penanda seorang wanita mengalami inkontinensia urine jenis stress, yang berasal dari tekanan.

3. Dampak jangka pendek dan panjang

Inkontinensia urine bisa menyebabkan stres berkepanjangan. Tak bisa dipungkiri kalau frekuensi kencing yang terlalu sering bisa menimbulkan stres. Misalnya, berpergian ke tempat ramai namun fokus yang pertama kali dicari adalah toilet. Hal ini bisa menimbulkan stres bagi pasien.

Selain itu, tentunya sangat mengganggu kenyamanan. Jika Bunda mengompol tanpa bisa dikontrol maka akan timbul bau pesing di celana. Alhasil, pasien harus menanggung malu.

Kemudian, adanya gangguan hygiene yang disebabkan oleh ompolan, bisa membuat kesehatan kulit menurun. Bisa timbul gatal-gatal di sekitar kulit paha.

Intinya, dampak inkontinensia urine adalah kualitas hidup yang terganggu. Terutama pada Bunda yang akan melakukan perjalanan jauh seperti traveling, umrah, atau ibadah haji.

ilustrasi menahan kencingilustrasi menahan kencing/ Foto: ilustrasi/thinkstock

Cara mengobati inkontinensia urine

Inkontinensia ini bisa diobati, berapapun usianya termasuk lansia. Sebelum dilakukan tindakan medis, harus dicari dahulu penyebabnya. Jika ada infeksi saluran kemih, biasanya akan ditangi terlebih dulu sampai sembuh.

Lalu, diperiksa lagi apakah pasien mengalami diabetes atau tidak, karena diabetes juga menyebabkan kencing terus-menerus.

Apabila penyebabnya ada gangguan aktivitas organ yang mengakibatkan inkontinensia, perlu pemeriksaan lebih lanjut agar terapi pengobatan sesuai dengan derajat beratnya penyakit. Nah, sebelum ke tahap pengobatan inkontinensia urine, Bunda akan melewati beberapa tahap pengujian seperti di bawah ini:

1. Test pad

Salah satu metode pemeriksaannya menggunakan test pad. Bentuknya seperti pembalut, dipasang di bawah celana pasien. Langkah selanjutnya, pasien diberi minum 250 cc air, kemudian pasien disuruh jalan-jalan.

Apabila dalam 1 jam, berat tes pad di bawah 5 gram berarti masuk dalam derajat ringan. Kemudian 5-15 gram masuk dalam derajat sedang. Di atas 15 gram, masuk ke dalam derajat berat.

2. Tes urodinamik

Ada juga tes urodinamik yang menentukan tipe inkontinensia urine, apakah tipe stres atau tipe desakan (overactive bladder). Tes urodinamik akan melihat secara fisika pada kandung kemih. Pasien diminta batuk, nanti terlihat hasilnya.

Penanganan inkontinensia Derajat ringan, sedang, dan berat:

1. Latihan kegel


Misalnya pada ibu usai melahirkan. Ligamentum atau otot levator ani dan uretranya juga lemah, maka perlu dilakukan latihan kegel (latihan otot dasar panggul). Dengan rutin latihan otot dasar panggul, maka bisa kembali normal.

2. Pola aturan dan daftar hadir berkemih

Setelah latihan kegel, diajarkan pola aturan berkemih, dan dibuat daftar hadir berkemih. Dilihat kapan dan jumlah frekuensi Bunda ke toilet untuk kencing. Frekuensi kencing di malam hari yang lebih dari satu kali, bisa mengindikasikan inkontinensia urine.

3. Perbaiki gaya hidup

Bunda yang mengalami inkontinensia urine sebaiknya menghindari makanan dan minuman yang mengandung gula. Lalu, hindari pula minuman yang bersifat diuretik seperti kopi, teh.

Masih ada kaitannya dengan daftar hadir berkemih, biasanya dalam daftar akan ada catatan riwayat pasien makan dan minum apa setiap hari. Dari catatan itulah, kemudian bisa dikontrol makanannya. Kebiasaan yang memicu inkontinensia urine harus dihilangkan serta diperbaiki.

4. Obat-obatan

Untuk inkontinensia urine tipe overactive bladder, biasanya Bunda akan diobati menggunakan obat-obatan. Tujuannya agar otot-otot di sekitar vesika tak banyak bekerja agar tidak menyebabkan mengompol. Obat-obatan seperti suntik botox ini akan digunakan apabila ketiga upaya di atas tidak bekerja dalam waktu 3-6 bulan. Dengan catatan, indikasinya harus jelas.

5. Operasi pasang sling

Ada beberapa kasus di mana ligamen-ligamen di panggul lemah sehingga uretra perlu digantung menggunakan sling. Biasanya, tipe ini sudah dikategorikan dalam inkontinensia derajat berat. Ini merupakan metode terbaru menggantikan metode lama, seperti prosedur pemasangan otot buatan dan jaring tipis. Kedua penangan ini sudah jarang dilakukan karena membutuhkan waktu lama. Dengan metode pemasangan sling, operasi cukup 15-30 menit sudah selesai.

Upaya pencegahan inkontinensia urine

Untuk mencegah inkontinensia urine bisa dengan rutin latihan kegel usai melahirkan, menjalani gaya hidup yang sehat, dan mengontrol berat badan. Jangan tunggu keluhan dahulu, segera lakukan pencegahan.

Dengan kemajuan ilmu, inkontinensia urine bisa dicegah dan diobati. Untuk itu, penting untuk mengenal penyebab dan bahaya inkontinensia urine agar tidak mengganggu kualitas hidup Bunda setelah hamil dan melahirkan.

Dr. dr. Suskhan Djusad, Sp.OG(K)., merupakan dokter Spesialis Obstetri Ginekologi, dan Konsultan Uroginekologi dan Rekonstruksi Vagina, Departemen Medik Kebidanan dan Penyakit Kandungan di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RS Pantai Indah Kapuk, Jakarta.
Beliau sudah lebih 20 tahun berpraktik sebagai dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan di beberapa rumah sakit.
Saat ini, Suskhan juga menjabat sebagai Kepala Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM.
Serta Dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).

(SUD/rap)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda