Habibie Kredit Barang Ini untuk Kado Ainun karena Gaji Pas-pasan
Muhayati Faridatun |
HaiBunda
Minggu, 01 Dec 2019 09:39 WIB
Habibie dan Ainun/ Foto: Repro koleksi BJ Habibie (Fida/detikcom)
Awal hidup bersama di Jerman, Habibie dan Ainun tinggal di sebuah apartemen kecil di Aachen. Hanya terdiri dari kamar tidur, kamar tamu, dapur kecil, dan kamar mandi. Cukup bagi mereka berdua.
Ketika itu pertengahan 1962, Ainun tengah mengandung buah cinta pertema mereka. Setelah resmi menikah di Bandung, 12 Mei 1962, Habibie memboyong Ainun ke Jerman. Sebelumnya, mereka sempat bulan madu ke Yogyakarta dan Bali.
Di Jerman, selain menjadi peneliti, Habibie juga bekerja sebagai asisten Profesor Dr. Ing. Hans Ebner. Gaji Habibie termasuk semua tunjangan saat itu senilai 680 Euro. Baginya, penghasilan itu lebih dari cukup untuk hidup seorang diri, tapi sangat terbatas untuk hidup berumah tangga.
"Sesuai peraturan yang berlaku, saya harus segera mengasuransikan Ainun, yang 50 persen biayanya ditanggung oleh kantor dan sisanya dipotong dari gaji saya," ungkap Habibie dalam buku Habibie & Ainun.
Habibie dan Ainun akhirnya memutuskan pindah ke luar Kota Aachen, mengingat terbatasnya ruang gerak di apartemen dan mencari harga sewa yang lebih rendah. Tepatnya di Oberforstbach, sekitar 30 kilometer dari Aachen.
Mereka menyewa satu apartemen yang dua kali lebih besar dari sebelumnya, tapi harga sewa per meter persegi jauh lebih rendah. Ada dua kamar tidur, kamar tamu, ruang kerja, kamar mandi, dapur, dan gudang kecil, termasuk pemanasan sentral.
Sayangnya, Ainun merasa kesepian. Kenapa? Buka halaman berikutnya ya, Bunda.
Ainun/ Foto: Buku Habibie, Tak Boleh Lelah dan Kalah
Ketika itu, usia kehamilan Ainun memasuki empat bulan. Kalau ingin memeriksakan kandungan ke dokter di Aachen, mereka harus pergi naik bus yang hanya ada setiap dua jam di pagi dan sore hari.
"Hidup mulai terasa agak berat. Berat bukan karena beban pekerjaan di rumah tetapi karena rasa kesendirian," tulis Ainun dalam buku SABJH.
Sehari-hari, Habibie berangkat kerja pagi sekali dan sering pulang larut malam. Ainun merasa sepi sendiri di apartemen dan tidak ada yang bisa diajak ngobrol. Hidupnya terasa hambar karena jauh dari keluarga, teman-teman, dan jauh dari segalanya.
Ainun mengisi hari-harinya dengan mengerjakan semua sendiri, juga untuk berhemat. Dengan penghasilan seadanya, Habibie pun menyerahkan semua perencanaan pengeluaran pada sang istri. Bahkan, tak jarang Habibie pulang kerja berjalan kaki demi menghemat pengeluaran.
"Kadang karena tidak ada bis lagi. Jikalau saya pulang, sering Ainun memandang keluar dari jendela menantikan kedatangan saya. Setibanya di depan pintu, Ainun membukanya dan memandang mata saya dengan senyuman yang selalu saya rindukan," kenang Habibie.
Saat Ainun berulang tahun ke-25, Habibie memberi kado spesial tapi membelinya dengan mencicil. Apa itu? Bunda simak di halaman berikutnya ya.
Ainun/ Foto: Buku Habibie, Tak Boleh Lelah dan Kalah
Tibalah pada tanggal 11 Agustus 1962, tepat Ainun menginjak 25 tahun. Habibie memberi Ainun kado yang dibelinya dengan menyicil tanpa bunga karena sedang promosi produk baru.
Habibie memberikan kado itu sambil meminta maaf pada Ainun. Namun, Ainun justru mengatakan, Habibie sudah memberinya hal yang lebih indah. Bagi Ainun, keturunan Habibie dalam kandungannya adalah sesuatu yang terindah, titipan Allah yang harus mereka syukuri.
"Saya hadiahkan mesin jahit merek Singer," tulis Habibie.
Dalam buku SABJH, Ainun juga menuturkan, tidak ada uang kecuali untuk membeli mesin jahit. Karena Singer adalah merek mesin jahit bagus, tak heran kalau cicilannya baru lunas setelah satu setengah tahun.
"Penghasilan kami pas-pasan. Hidup benar-benar prihatin. Hidup benar-benar keras. Tetapi ada hikmahnya. Di masa-masa inilah saya belajar untuk hidup berdikari," tutur Ainun.
Selama persiapan kelahiran anak pertama, banyak yang harus dibeli tapi dananya tidak mencukupi. Ainun sempat ingin bekerja lagi sebagai dokter, hanya saja sulit mendapat pengakuan ijazah Universitas Indonesia (UI) di Jerman.
Habibie pun merasa, kesabaran dan ketabahan Ainun menjadi dorongan dan mengilhaminya dalam bekerja. Hingga akhirnya, Habibie memutuskan mencari pekerjaan tambahan dan melamar ke perusahaan pembuat gerbong kereta api bernama Talbot. Ia pun diterima.