Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

Dampak Stres dalam Kehidupan Rumah Tangga, Awalnya Aman Jadi Runyam

Melly Febrida   |   HaiBunda

Kamis, 25 Feb 2021 16:39 WIB

Quarrelling Young Couple in the Bed, Young People Lying Turned Away From Each other and Lay on Their Sides Holding Grudges and Being Offended
Ilustrasi suami istri/ Foto: Getty Images/iStockphoto/gorodenkoff

Kehidupan rumah tangga Bunda termasuk yang aman-aman saja atau penuh dengan sakit hati serta konflik? Apabila Ayah dan Bunda stres entah itu dari hubungan atau bukan, bisa mempengaruhi kehidupan rumah tangga yang mungkin terlihat aman-aman saja.

Yang jelas semua orang ingin rumah tangganya bahagia. Tapi, hubungan terbaik pun tidak bebas stres. Karena itu, pahami bagaimana stres memengaruhi romantisme sehingga membantu pasangan suami istri membangun hubungan yang lebih positif.

Asisten profesor di The Department of Psychiatry University of British Columbia, Canada, Diane McIntosh, MD, FRCPC, dan psikolog klinis Jonathan Horowitz, PhD dalam buku berjudul Stress The Psycholog of Managing Pressure, mengatakan stres mempengaruhi hubungan dalam dua cara, yakni yang diciptakan hubungan itu sendiri dan stres dari luar yang berdampak ke hubungan, atau dalam hal ini; rumah tangga.

Salah satu konsep psikologi yang paling berpengaruh tentang hubungan adalah "teori keterikatan". Ini diformulasikan psikolog Inggris John Bowlby, dan dikembangkan muridnya yang berkebangsaan Amerika-Kanada, Mary Ainsworth pada 1940-an.

Banner suami diPHK


Dalam teori ini diidentifikasikan tiga jenis utama dalam hubungan:

1. Secure

Tipe ini menganggap keintiman itu wajar dan nyaman dengannya. Orang tipe ini berharap pasangannya memperhatikan kebutuhan mereka dan memperlakukan mereka dengan baik, dan berusaha menawarkan hal yang sama.  

2. Anxious

Orang yang cemas menginginkan keintiman, tetapi tidak melihat diri mereka sebagai orang yang sangat menarik dan terlalu waspada terhadap tanda-tanda penolakan. Namun, dengan pasangan yang secure, mereka cenderung rileks dan menjadi penyayang serta setia. 

3.  Avoidant/dismissive

Orang yang menghindar atau meremehkan sebenarnya yang "fobia komitmen", melihat orang lain tidak dapat dipercaya dan merasa bahwa rasa aman hanya datang dari kemandirian emosional.  

Secara tidak sadar orang tipe ini takut ditinggalkan, tetapi mereka cenderung mengelola rasa takut itu dengan menyembunyikan perasaan mereka dari pasangannya. Akibatnya, mereka bisa memberikan sinyal yang beragam.

4. Orang-orang yang menghindari ketakutan

Tipe ini cukup langka. Biasanya pernah mengalami trauma di masa lalu dan takut akan ditinggalkan dan terperangkap, yang mengakibatkan sangat sulit berhubungan.

"Penelitian telah menemukan bahwa hubungan yang paling membuat stres cenderung antara orang-orang yang cemas dan yang menghindar. Hubungan dengan pasangan yang aman cenderung paling tidak membuat stres: pasangan yang aman mampu meyakinkan pasangan yang cemas dan tidak terancam oleh kemandirian dari seorang penghindar," ujar McIntosh.

Nah, kalau berdasarkan penjabaran di atas, hubungan Bunda dan Ayah dalam rumah tangga termasuk tipe yang mana, Bun?

Baca halaman selanjutnya untuk informasi lebih lanjut.

Tonton berita lain seputar pernikahan yuk, di video ini:

[Gambas:Video Haibunda]

MENGELOLA STRES DALAM RUMAH TANGGA

Ilustrasi suami istri

Ilustrasi suami istri/ Foto: Getty Images/iStockphoto/Panupong Piewkleng

McIntosh bilang, kalau seseorang terus-menerus patah hati mungkin saja memiliki gaya keterikatan yang cemas, tetapi memilih pasangan yang menghindar. Campuran kecemasan dengan menghindar bisa menyebabkan hubungan sering pasang surut.

"Bagi sebagian orang yang cemas, hal ini dapat mengakibatkan mereka mengasosiasikan stres dengan gairah dan menemukan bahwa pasangan yang aman yang akan membuat mereka bahagia tampak membosankan dan tidak menarik. Jika pola ini terdengar familiar, sebaiknya Anda mencoba berkencan di luar "tipe" Anda," jelas McIntosh.

Sebuah studi Amerika 2010 mengambil sampel tingkat kortisol 30 pasangan selama tiga hari, dan menemukan meskipun suasana hati positif, itu tidak terlalu memengaruhi satu sama lain. Apabila tingkat stres salah satu pasangan meningkat, pasangan lainnya juga demikian.

Serangkaian penelitian Amerika tahun 2009 menemukan bahwa pasangan yang mengalami stres bukan karena hubungan juga memiliki reaksi negatif yang lebih kuat pada pasangan mereka, terlepas dari gaya keterikatan mereka.


Sepasang suami istri biasanya memiliki keterampilan komunikasi dan resolusi konflik yang baik, tetapi McIntosh mengatakan pasangan akan kesulitan melakukannya ketika sedang stres.

"Sebagai aturan umum, mengelola tingkat stres kita sendiri meningkatkan kehidupan pasangan kita dan juga kehidupan kita sendiri, " ujarnya.

Berbicara kehidupan rumah tangga, terkadang muncul keributan. Namun, kalau mau curhat harus ke mana?

Psikolog klinis dewasa dari Psychological Service Centre and Laboratory Bina Nusantara University, Pingkan Rumondor, bilang kalau mau curhat ke teman boleh-boleh aja. Tapi, usahakan jangan lawan jenis. Soalnya, bukan nggak mungkin perselingkuhan bermula dari rasa nyaman ketika curhat dengan teman lawan jenis.

Pingkan menyarankan curhatlah ke teman yang punya pengalaman serupa. Yang nggak kalah penting, curhatlah pada teman yang bisa dipercaya.

"Kalau memang nggak punya teman yang bikin kita sreg, bisa ke profesional misalnya psikolog atau konselor," ujar Pingkan, beberapa waktu lalu.


(fia/fia)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda