parenting
Cerita Perjuangan Seorang Bunda Membesarkan Anak Autis
Kamis, 19 Sep 2019 07:00 WIB
Jakarta -
Merawat anak yang mengidap Autism Spectrum Disorder (ASD) atau autisme tentu perlu perjuangan lebih, Bun. Seperti dirasakan seorang ibu dua anak asal Indonesia yang kini tinggal di Australia.
Kepada HaiBunda, Deti Kusmalawati menuturkan, awal mula curiga Helgi mengidap sindrom autisme, yakni saat anak keduanya itu berusia dua tahun. Menurut pengamatan staf Taman Penitipan Anak (TPA) tempat sang anak dititipkan saat itu, Helgi menunjukkan perilaku berbeda dibanding teman-teman seusianya. Ia tidak mau kontak mata dan selalu terlambat mengikuti instruksi guru-guru di TPA.
Sebenarnya, saat mendengar penjelasan staf TPA tersebut, baik Deti maupun suami kaget dan sempat tidak percaya. Ia merasa bahwa perkembangan Helgi selama ini normal seperti anak lain. Ia pun memutar kembali video-video ketika anaknya berusia sekira satu tahun. Dalam video tersebut Helgi tampak tidak bermasalah dan bisa berkomunikasi, bahkan bicara sambil menatap mata.
Namun, setelah diamati lagi, barulah dia merasa Helgi mulai berubah setelah bisa berjalan. Dia sangat hiperaktif dan tidak takut bahaya. Helgi juga mulai suka menonton video di YouTube, namun saking asiknya menonton, dia malah jadi mengasingkan diri dari orang tuanya.
"Interaksinya mulai berkurang. Dia juga tidak mau memeluk saya dan suami. Kalau disuruh cium pipi kami, dia cuma menyodorkan pipinya untuk kami cium, bukan dia yang aktif mencium kami. Makanya kami kemudian menyadari bahwa penjelasan pihak TPA ini sangat masuk akal sekarang," tuturnya.
Saat usia Helgi tiga tahun, mereka sekeluarga pindah ke Selandia Baru. Dan setahun kemudian, Helgi dibawa ke dokter spesialis anak. Berdasarkan observasi dokter tersebut, Helgi positif autisme, dengan kondisi Mild and High Functioning Autism. Sehingga, dia memerlukan terapi khusus untuk memperbaiki kondisinya.
"Sedih tentu saja, kami khawatir dengan masa depannya nanti. Saya dan suami bahkan mencoba mencari penyebab munculnya autis pada Helgi. Tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan mengenai hal ini," ungkap wanita yang menempuh studi S3 di Queensland ini.
Akhirnya, di usia empat tahun, Helgi mulai menjalani terapi okupasi dan wicara. Bersyukur, dokter spesialis yang menangani Helgi di sana memberikan beragam informasi tentang terapi yang harus dilakukan dan juga network support untuk keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK).
"Jadi waktu itu, terapisnya datang ke rumah atau ke daycare untuk melatih bicara Helgi. Saya juga diperkenalkan dengan jaringan keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Volunteer group ini rutin datang ke rumah untuk sharing pengalaman maupun informasi tentang workshop-workshop yang berkaitan dengan penanganan autism," terangnya.
Setelah terapi, kondisi Helgi mulai membaik, Bun. Di usia Helgi 9 tahun, Deti sekeluarga pindah lagi ke Australia. Deti juga rutin bertemu dengan para spesialis untuk membahas perkembangan Helgi di sekolah. Berdasarkan pengamatan guru, Helgi menunjukkan kecenderungan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) karena daya konsentrasinya sangat rendah, yang membuatnya kesulitan menangkap pelajaran di sekolah. Sedangkan gejala autisme Helgi sudah berkurang.
"Helgi positif ADHD. Jadi autis-nya overlap dengan ADHD. Untuk membantu daya konsentrasi Helgi, dokter meresepkan Ritalin yang harus diminum setiap hari sebelum ke sekolah. Alhamdulillah, obat ini membantu konsentrasi Helgi lebih baik dan dia pun senang pergi ke sekolah," jelasnya.
Saat ini, Helgi berumur 13 tahun dan sudah kelas 8 SMP lho, Bun. Saat kelas 7, dia masih mendapat kurikulum anak kebutuhan khusus. Tapi di kelas 8, dia mendapat kurikulum normal seperti anak lain. Helgi juga sudah mulai memahami bahwa dia mengidap autis dan ADHD. Meski secara umum syndrom autism masih ada, namun dia sudah mulai bisa diatur dengan baik.
Ya, membesarkan anak autis, tentu banyak hikmah yang didapat Deti. Salah satunya tidak berburuk sangka dengan masa depan anak. Deti percaya, dengan memberikan kasih sayang, treatment yang baik, apresiasi, maka anak pun bisa tumbuh dengan baik.
"Jangan membandingkan capaian anak kita dengan anak lain. Tapi bandingkan capaian anak kita sendiri dari waktu ke waktu, supaya lebih adil," jelasnya.
Selain itu, menurut Deti, jangan tutupi kondisi anak dari orang-orang sekitar, terutama tetangga. Karena jika tetangga paham kondisi anak kita, mereka bisa memberi dukungan tambahan.
"Misalnya, kalau anak kita tiba-tiba tantrum, mereka tidak akan buru-buru mencap anak kita nakal, tidak bisa diurus, liar, memalukan, tapi mereka akan membantu mencari cara menenangkan anak kita tersebut," tutupnya.
Simak pula cerita Dian Sastro soal anaknya yang mengidap autis, dalam tayangan berikut, Bun.
(yun/muf)
Kepada HaiBunda, Deti Kusmalawati menuturkan, awal mula curiga Helgi mengidap sindrom autisme, yakni saat anak keduanya itu berusia dua tahun. Menurut pengamatan staf Taman Penitipan Anak (TPA) tempat sang anak dititipkan saat itu, Helgi menunjukkan perilaku berbeda dibanding teman-teman seusianya. Ia tidak mau kontak mata dan selalu terlambat mengikuti instruksi guru-guru di TPA.
Namun, setelah diamati lagi, barulah dia merasa Helgi mulai berubah setelah bisa berjalan. Dia sangat hiperaktif dan tidak takut bahaya. Helgi juga mulai suka menonton video di YouTube, namun saking asiknya menonton, dia malah jadi mengasingkan diri dari orang tuanya.
"Interaksinya mulai berkurang. Dia juga tidak mau memeluk saya dan suami. Kalau disuruh cium pipi kami, dia cuma menyodorkan pipinya untuk kami cium, bukan dia yang aktif mencium kami. Makanya kami kemudian menyadari bahwa penjelasan pihak TPA ini sangat masuk akal sekarang," tuturnya.
Saat usia Helgi tiga tahun, mereka sekeluarga pindah ke Selandia Baru. Dan setahun kemudian, Helgi dibawa ke dokter spesialis anak. Berdasarkan observasi dokter tersebut, Helgi positif autisme, dengan kondisi Mild and High Functioning Autism. Sehingga, dia memerlukan terapi khusus untuk memperbaiki kondisinya.
![]() |
"Sedih tentu saja, kami khawatir dengan masa depannya nanti. Saya dan suami bahkan mencoba mencari penyebab munculnya autis pada Helgi. Tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan mengenai hal ini," ungkap wanita yang menempuh studi S3 di Queensland ini.
Akhirnya, di usia empat tahun, Helgi mulai menjalani terapi okupasi dan wicara. Bersyukur, dokter spesialis yang menangani Helgi di sana memberikan beragam informasi tentang terapi yang harus dilakukan dan juga network support untuk keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK).
"Jadi waktu itu, terapisnya datang ke rumah atau ke daycare untuk melatih bicara Helgi. Saya juga diperkenalkan dengan jaringan keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Volunteer group ini rutin datang ke rumah untuk sharing pengalaman maupun informasi tentang workshop-workshop yang berkaitan dengan penanganan autism," terangnya.
Setelah terapi, kondisi Helgi mulai membaik, Bun. Di usia Helgi 9 tahun, Deti sekeluarga pindah lagi ke Australia. Deti juga rutin bertemu dengan para spesialis untuk membahas perkembangan Helgi di sekolah. Berdasarkan pengamatan guru, Helgi menunjukkan kecenderungan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) karena daya konsentrasinya sangat rendah, yang membuatnya kesulitan menangkap pelajaran di sekolah. Sedangkan gejala autisme Helgi sudah berkurang.
"Helgi positif ADHD. Jadi autis-nya overlap dengan ADHD. Untuk membantu daya konsentrasi Helgi, dokter meresepkan Ritalin yang harus diminum setiap hari sebelum ke sekolah. Alhamdulillah, obat ini membantu konsentrasi Helgi lebih baik dan dia pun senang pergi ke sekolah," jelasnya.
Saat ini, Helgi berumur 13 tahun dan sudah kelas 8 SMP lho, Bun. Saat kelas 7, dia masih mendapat kurikulum anak kebutuhan khusus. Tapi di kelas 8, dia mendapat kurikulum normal seperti anak lain. Helgi juga sudah mulai memahami bahwa dia mengidap autis dan ADHD. Meski secara umum syndrom autism masih ada, namun dia sudah mulai bisa diatur dengan baik.
Baca Juga : 5 Jenis Terapi untuk Anak Autis |
Ya, membesarkan anak autis, tentu banyak hikmah yang didapat Deti. Salah satunya tidak berburuk sangka dengan masa depan anak. Deti percaya, dengan memberikan kasih sayang, treatment yang baik, apresiasi, maka anak pun bisa tumbuh dengan baik.
"Jangan membandingkan capaian anak kita dengan anak lain. Tapi bandingkan capaian anak kita sendiri dari waktu ke waktu, supaya lebih adil," jelasnya.
Selain itu, menurut Deti, jangan tutupi kondisi anak dari orang-orang sekitar, terutama tetangga. Karena jika tetangga paham kondisi anak kita, mereka bisa memberi dukungan tambahan.
"Misalnya, kalau anak kita tiba-tiba tantrum, mereka tidak akan buru-buru mencap anak kita nakal, tidak bisa diurus, liar, memalukan, tapi mereka akan membantu mencari cara menenangkan anak kita tersebut," tutupnya.
Simak pula cerita Dian Sastro soal anaknya yang mengidap autis, dalam tayangan berikut, Bun.
(yun/muf)