Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

Toeti, Ibunda BJ Habibie: Ningrat Solehah, Galak Didik Anak

Iin Yumiyanti   |   HaiBunda

Minggu, 22 Sep 2019 11:32 WIB

Toeti mencubit Habibie bila nakal saat salat. Tapi ia pandai memotivasi Habibie saat putranya sedang berkecil hati.
Keluarga BJ Habibie/ Foto: Instagram @b.jhabibie
Siapa yang tidak mengenal BJ Habibie di negeri ini. Namun, siapa dan bagaimana sosok ibundanya, yang mendidik Habibie sehingga menjadi manusia yang jenius, sukses dan religius, banyak yang belum tahu.

Ibunda Habibie adalah Raden Ayu Toeti Saptomarini. Ia seorang bangsawan dari Yogyakarya, lahir pada 10 November 1908. Habibie biasa memanggilnya Mami. Cucu-cucunya biasa memanggil "Mami Besar", terjemahan dari Bahasa Belanda grootmoeder atau Bahasa Inggris grandmother.

Orang tua Toeti adalah pasangan R. Poespowardojo dan Rr. Goemoek alias Sadini. Poespowardojo adalah seorang pemilik sekolah. Rr. Goemoek adalah putri M.Ng. Dr. Tjitrowardojo atau M. Radiman adalah seorang dokter spesialis mata yang terkenal di Yogya.

Toeti, sebagaimana putri bangsawan Jawa pada masa itu, biasa tampil memakai kebaya dengan wiron kecil-kecil dan rambutnya dicepol. Ia dikenal sebagai gadis cerdas, supel, ayu, dan anggun.

Bagaimana kisah awal pertemuan Mami dan Papi Habibie? Simak di halaman berikutnya ya, Bunda.

Lihat juga curhat Melanie Subono soal nasi kotak saat peringatan Tujuh Harian almarhum BJ Habibie, dalam video berikut:

[Gambas:Video 20detik]

Awal pertemuan Toeti dan Alwi, Mami Papi Habibie

BJ Habibie/ Foto: Instagram @b.jhabibie

Awal pertemuan Toeti dan Alwi, Mami Papi Habibie

Toeti berkenalan dengan Alwi Abdul Jalil Habibie saat sekolah di Hoogere Burger School (HBS). Toeti dan Alwi merasa cocok karena memiliki banyak kesamaan. Sama-sama dari keluarga bangsawan, sama-sama bisa merasakan manisnya pendidikan yang zaman itu masih sangat sedikit yang bisa mengecapnya, sama-sama berempati terhadap besarnya tekanan dan ekspektasi yang mengikuti nama besar keluarga.

“Tak heran bila akhirnya Mami juga jatuh cinta pada Papi,“ kata Habibie, dalam buku Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visoner yang ditulis oleh Gina S. Noer.

Awalnya, kedua keluarga baik keluarga Toeti maupun keluarga Alwi sama-sama kaget mengetahui keduanya dekat. Keluarga Toeti yang bangsawan Jawa tidak menyangka putri mereka dekat dengan pemuda nan jauh asal-usulnya, Gorontalo, yang tak benar-benar bisa mereka lacak bibit, bebet, dan bobotnya.

Keluarga Alwi pun shock karena putra mereka sudah dijodohkan dengan keluarga jauh yang masih ada hubungan darah. Ayah Alwi, Abdul Jalil Habibie, sangat marah karena putranya memilih gadis lain. Ujungnya, setelah menikah, Alwi tidak lagi berkomunikasi lagi dengan keluarga besarnya. Ia juga tidak lagi kembali ke Gorontalo.

Setelah menikah, bersama Toeti, Alwi memilih tinggal di Pare-Pare. Alwi menjabat Adjunt Landbouw Consulent atau setingkat Kepala Dinas Pertanian. Karena pekerjaannya ini, Alwi sangat sibuk dan sangat sering keluar kota.


Membesarkan delapan anak, Toeti yang keturunan bangsawan bukan tipe perempuan yang suka mengeluh. Ia juga jarang meminta apa-apa dari sang suami. Salah satu permintaan yang diajukan kepada Alwi adalah memintanya agar sering-sering mengaji, sebab suara ngaji Alwi bisa menghentikan tangis bayi Habibie.

“Papi harus sering mengaji. Tadi saat Papi mengaji, Rudy berhenti menangis.”

“Terus kalau Papi terus mengaji, siapa yang kerja?” jawab Alwi. Mereka kemudian mencari cara agar bayi Habibie tidak terus menerus menangis. Selain mengaji, mereka pun memutarkan lagu klasik.

Bunda, buka lagi halaman berikutnya untuk melihat kisah sang ibu 'memaksa' Habibie merantau ke Jakarta.

Galak dan Pandai Memotivasi Anak

BJ Habibie/ Foto: Rachman Haryanto

Galak dan pandai memotivasi anak

Toeti sendiri adalah seorang perempuan saleh. Ia bersama suaminya mengajak anak-anaknya untuk selalu salat berjamaah. Ia menjadi seorang ibu yang galak bila anak-anaknya main-main dengan salat lima waktu. Ia akan mencubit kaki anaknya bila nakal saat salat berjamaah.

Toeti juga seorang perempuan yang tegar. Ketika Alwi meninggal pada 3 September 1950, Toeti sedang hamil besar. Dengan tabah ia memeluk jenazah suaminya dan menyampaikan sumpah, “Demi Allah, seluruh anak-anak akan aku sekolahkan setinggi-tingginya dengan biaya dan keringatku sendiri.”

Toeti berusaha keras memenuhi sumpahnya itu. Kondisi seburuk apapun, ia selalu mencari jalan agar anak-anaknya tetap sekolah. Ia mengirim Habibie ke Jakarta ketika HBS di Makassar tidak ada lagi yang buka karena pemberontakan Andi Azis. Saat itu, Habibie masih berumur 14 tahun, masih kecil untuk merantau sendirian ke Jakarta. Ia menangis merengek takut kalau harus hidup jauh dari keluarganya. Toeti membesarkan hati putranya.

“Ini justru tanda aku sayang dan yakin padamu Rudy. Kalau Mami jahat, justru Mami akan menahanmu di sini dan memanjakanmu. Karena itu kamu harus pergi. Jadilah yang nomor satu,“ kata Toeti memotivasi Habibie.

[Gambas:Instagram]


Ketika kemudian Habibie harus pindah ke sekolah peralihan di Bandung, Toeti pun membawa anak-anaknya pindah ke kota kembang ini. Ia menjual semua harta yang tersisa di Makassar, untuk modal hidup baru. Sesampainya di Bandung, ia membeli tiga rumah di Jalan Imam Bonjol. Satu rumah untuk tempat tinggal, dua rumah untuk dijadikan tempat kost.

Di Bandung, Toeti semakin rajin mengembangkan pertemanan dan jaringan bisnis. Segera saja ia menjadi figur penting di kalangan komunitas warga Jawa di Bandung. “Mami dikenal sebagai perempuan dengan wibawa yang sangat kuat. Selalu berpakaian rapi, berkebaya, dengan parfum yang menentramkan hidung siapapun yang berada di dekatnya,” kata Habibie.

Toeti sangat rajin bersilaturahmi. Ia juga sangat suka menulis surat. Inilah yang nantinya akan membantunya memberangkatkan Habibie ke Jerman.

(iiy/muf)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda