Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

Sumpah Mami di Depan Jenazah Papi, Antar Habibie Sukses ke Jerman

Ratih Wulan Pinandu   |   HaiBunda

Sabtu, 21 Sep 2019 07:38 WIB

Sumpah Mami di depan almarhum Papi antarkan Habibie sampai sukses menembus Jerman. Suaranya bergetar menembus ruangan. Simak cerita selengkapnya!
Habibie/Foto: Hasan Alhabshy
Jakarta - Kenangan tentang BJ Habibie tak pernah habis untuk dibicarakan. Tak terkecuali mengenai cerita masa kecil Habibie saat tinggal di Parepare dan Makassar, Sulawesi Selatan.

Habibie kecil tumbuh dalam keluarga besar yang bahagia. Lahir sebagai anak keempat dari delapan bersaudara, membuat rumah mereka senantiasa ramai oleh saudara-saudara yang lainnya.

Sang papi, Alwi Abdul Jalil Habibie, bekerja sebagai 'Landbouwconsulent' atau setara dengan kepala dinas pertanian di Parepare. Saat itu Alwi memegang jabatan yang penting dan tak kalah sibuk di bidang pertanian di daerahnya.

Dalam buku yang berjudul "Rudy", Kisah Masa Muda Sang Visioner, diceritakan masa kecil Habibie atau karib disapa Rudy hidup dalam keluarga terpandang. Tinggal di lingkungan yang banyak dihuni orang-orang Belanda membuat menjadikan Pendidikan di atas segalanya bagi orang tua Rudy.

Diceritakan Habibie kepada penulis buku otobiografinya Gina S Noer, Papi dan Mami percaya bahwa kesuksesan adalah buah dari pendidikan. Mereka sepakat menyekolahkan semua anak-anaknya di sekolah terbaik, yang artinya harus masuk di sekolah Belanda.

Sumpah Mami di Depan Jenazah Papi, Antar Habibie Sukses ke JermanMasa kecil Habibie/ Foto: Istimewa

Tapi kondisi mereka seketika berubah saat sang papi meninggal secara mendadak akibat serangan jantung. Celoteh dan tawa, yang biasa meramaikan rumah mereka berganti dengan duka. Sang mami, Tuti Alwi harus berjuang untuk melanjutkan hidup bersama ketujuh anaknya dan bayi yang ada dalam kandungannya.

Sore itu, 3 September 1950, semua anggota keluarga tengah bersiap-siap menjalankan salat magrib seperti biasa. Suasa berjalan dengan sangat khusyuk hingga sampai di sujud terakhir. Namun, ada yang berbeda kali ini. Papi terus sujud dan tidak kunjung bangun.

Rudy dan anggota keluarga yang lain menunggu Papi untuk bangun dari sujudnya. Namun, dalam waktu yang cukup lama, Papi tak juga bangun. Saudaranya yang bernama Fanny sudah melirik ke samping, mencolek Rudy.

Awalnya Rudy pura-pura tak peduli, Fanny memang biasa bandel. Tunggu saja nanti kalau dimarahi. Namun, Rudy mulai merasakan pening di kepalanya. Dari samping, Fanny memberi kode agar Rudy yang menyentuh Papi.

Rudy yang tak terbiasa jadi pengganggu salat kini jadi hasutan Fanny. Dia menggoyang-goyangkan kaki Papi dengan tangannya. Ternyata bukan Papi yang terkejut, melainkan Rudy, karena Papi sangat dingin.

Rudy bangun dari sujudnya, menarik-narik jempol Papi yang tak juga bangun. Melihat itu seluruh keluarga jadi panik. Titi, kakak perempuannya, yang jaraknya paling dekat dengan Papi menggoyang tubuh Papi dengan kencang.

Tangisan histeris pecah di ruangan. Rumah itu terasa doyong, gelap, seakan semua lampu dimatikan tiba-tiba. Pengap memenuhi dada semua orang.

Sumpah Mami di Depan Jenazah Papi, Antar Habibie Sukses ke JermanHabibie ziarah ke makam Ainun/ Foto: Istimewa
Saat dokter menyatakan serangan jantung telah merenggut nyawa Papi, Rudy terpaku di tempatnya berdiri. Dia tahu bahwa orang yang meninggal tak akan pernah bisa kembali lagi. Berarti Papi akan menyusul adiknya, meninggalkan Rudy, Mami, dan lainnya.

Tubuh Rudy gemetar saat menyaksikan Letnan Kolonel Soeharto mengatupkan kelopak mata Papi. Rudy mengahapus air matanya, dan sayup-sayup mendengar Mami bersumpah di depan tubuh Papi.

Mami yang saat itu sedang hamil besar memeluk cinta matinya. Suaranya nyaring membelah ruangan. "Demi Allah, seluruh anak-anak akan kusekolahkan setinggi-tingginya dengan biaya dari keringatku sendiri."

Sumpah itulah yang dipegang Tuti dalam membesarkan anak-anaknya. Habibie yang dianggap memiliki kecerdasan lebih dibanding saudara-saudaranya, dipaksa untuk berlayar ke Jawa untuk melanjutkan sekolah di Jakarta.

Tangisan Rudy yang masih berusia 14 tahun tak menggoyahkan tekad dan langkah Mami untuk mengantarkannya menjadi manusia jenius. Bahkan mengharumkan nama bangsa dan negara.


Sebagai seorang ibu, saat itu Tuti tentu berat hati melepas buah hatinya untuk merantau saat usia belum genap 15 tahun. Terlebih Habibie menjadi putra kebanggannya sejak kecil.

Kini, ketegaran dan ketegasan Tuti mendidik anak benar adanya. Meski Habibie telah pergi untuk selamanya, jasanya tetap bermanfaat bagi banyak orang. Selamat jalan Rudy, selamat beristirahat dalam tenang. (rap/iiy)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda