Jakarta -
Malala Yousafzai, nama ini menggetarkan dunia pendidikan internasional ketika dengan gigih memperjuangkan hak anak perempuan untuk bersekolah di Pakistan. Perlu Bunda ingat bahwaÂ
Pakistan di masa Malala berjuang, adalah negara yang menjadi sarang dariÂ
Taliban --gerakan yang melarang anak perempuan bersekolah.
Malala rajin menyuarakan hak anak-anak perempuan seusianya untuk bersekolah dalam wujud kunjungan ke media-media Pakistan. Disokong oleh sang ayah, Ziauddin Yousafzai, yang merupakan pemilik dan Kepala Sekolah, serta sang Ibunda, Toor Pekai, Malala menantang Talilban.
Perjuangan dimulai sejak 3 Januari 2009, gadis kelahiran Swat ini mendengar adanya penyiar
Radio BBC, Abdul Hai Kakar, yang butuh narasumber guru perempuan atau gadis sekolah yang mau bicara soal kehidupan di bawah Taliban.
"Kenapa bukan aku saja? Aku mau orang-orang tahu apa yang terjadi. Pendidikan adalah hak kami," ujar
Malala pada Zia seperti diceritakan kembali dalam buku
I Am Malala. Malala Yousafzai/ Foto: CNN |
Tapi karena keterbatasan perangkat, Malala akhirnya setuju tidak menuliskan cerita, melainkan berkisah secara langsung. Setiap sore, Hai Kakar akan menelepon dan bertanya. Sehingga cerita Malala bisa didengar seantaro negeri.
Ia memakai nama Gul Makai untuk menutup identitas diri. Maklum saja, Taliban akan membunuh siapa pun yang menentang kebijakan mereka. Nama ini sendiri berarti 'bunga jagung' dan masuk salah satu famili heroin dalam cerita Pashtun.
Kisah Malala ini berikutnya dikenal sebagai
Diary of Gul Makai. Meski demikian, perjuangan itu berakhir anti-klimaks karena pada 14 Januari 2009, sekolah Malala tutup. Sekolah yang menjadi satu-satunya tempat menuntut ilmu para gadis dan menjadi sumber pendapatan keluarga, ditutup paksa oleh Taliban.
"Mereka bisa mencegah kami sekolah, tapi bisa melarang kami untuk terus belajar," tegas Malala saat itu.
Pemimpin Taliban, Muslim Khan, beranggapan bahwa perempuan tidak boleh mengecap pendidikan dan belajar mengenai dunia Barat. Dia berkeras bahwa ada sistem pendidikan sendiri yang bisa diterapkan ke gadis-gadis Pakistan.
"Tapi pendidikan adalah pendidikan. Kami harus belajar segalanya lalu memilih jalur yang akan ditempuh. Pendidikan itu bukanlah Timur atau Barat. Pendidikan itu manusia," bantah Malala. Tak lama kemudian, lagi-lagi berkat bantuan Ayah, Malala berhasil kembali bersekolah.
Lantangnya Malala membuat sulung dari tiga bersaudara ini mendapat ancaman mati. Tidak sekali-dua kali, bahkan sudah sampai ancamam mati untuk Ayah dan Bunda. Sang Bunda, Toor Pekai, tak ambil pusing dan lebih fokus memperpanjang salat demi menambah doa untuk Malala. Hingga tibalah hari itu.....
 Malala Yousafzai/ Foto: CNN |
9 Oktober 2012, Malala dan teman-temannya menuju ke sekolah mereka di Lembah Swat. Sebenarnya sekolah itu bisa ditempuh dengan berjalan kaki, tapi sejak banyaknya ancaman mati pada Malala, sang ibu memaksanya naik minibus.
Saat mobil melaju ke atas bukit, Malala menyadari hari itu berjalan agak sepi. Padahal jalur itu adalah jalur tembus di desanya. "Ke mana semua orang?" Malala sempat bertanya pada sahabatnya, Moniba.
Di situlah muncul mobil lain dan membuat minibus berisi Malala berhenti mendadak. "Siapa di antara kalian adalah Malala?" tanya seorang pria yang keluar dari mobil.
Tanpa sempat menjawab, Malala ditembak di kepala di usia 15 tahun.
Gadis kebanggaan sang Ayah itu langsung dilarikan ke Swat Central Hospital. Ia dibawa dalam kondisi tertembak, berdarah dari kepala hingga kuping kiri. Ada tiga gadis lain yang ikut tertembak hari itu, tapi Malala-lah yang terparah.Â
Situasi rumah sakit langsung kacau. Mengingat Malala adalah tokoh ternama setempat. Sedangkan di lain pihak Taliban masih mencoba membunuhnya. Semua pihak yang tidak penting, ikut meramaikan rumah sakit hari itu.
Zia, Ayah Malala, sedang memberi seminar saat diberi kabar. Ia langsung melesat ke rumah sakit tapi dengan lebih dulu memberi sambutan untuk 400 Kepala Sekolah yang hadir ke Swat. Tapi yang dilupakan semua pihak adalah Toor Pekai, sang Ibunda.
Toor Pekai mengetahui kabar itu saat sedang belajar membaca di rumah. Kabar awal yang diterimanya adalah "Malala kecelakaan." Lalu, muncul lagi banyak orang ke rumah dengan kabar yang saling silang-sengkarut.
Salah satu orang malah datang dengan kunci rumah milik Malala dan menyerahkannya. "Saya mau Malala, saya tidak mau kuncinya. Apa gunanya kunci jika tidak ada Malala-nya!" kesal Toor Pekai. Di akhir kalimat, terdengarlah suara helikopter.
Toor Pekai memanjat bagian atas rumah untuk melihat helikopter yang membawa anak kesayangannya. Pasrah.
Ia kemudian membuka selendang tradisional di kepala, sebuah gerakan yang tidak pernah dilakukan Suku Pashtun, dan meremasnya ke arah langit bak sebuah persembahan. "Tuhan, aku serahkan dia pada-Mu! Kami tidak menerima pengawalan apa pun, hanya Kau-lah pelindung kami. Dia berada di bawah perlindungan-Mu dan Kau wajib membawanya kembali," jerit Toor Pekai di deru raungan helikopter.
Malala sempat dirawat ke beberapa rumah sakit. Ini karena pertimbangan keamanan dan pertimbangan politik petinggi Pakistan. Namun pada akhirnya Malala dirawat di Birmingham, Inggris. Di lokasi ini kedua orangtua dan keluarga kecilnya menyusul.
Sekarang ia tinggal di sana dan meneruskan perjuangan pendidikan untuk perempuan di seluruh dunia melalui Malala Fund -sebuah usaha nirlaba. Tak lupa, sebelumnya Malala juga mendapat pengharagaan Nobel Perdamaian di tahun 2014.
[Gambas:Video 20detik]
(ziz/ziz)