Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

Dampak Psikologis Anak Akibat Ortu Meninggal Mendadak Seperti Naya Rivera

Yuni Ayu Amida   |   HaiBunda

Senin, 20 Jul 2020 16:19 WIB

FILE - In this Jan. 13, 2018, file photo, Naya Rivera participates in the
Dampak Psikologis Anak Akibat Ortu Meninggal Mendadak Seperti Naya Rivera/ Foto: Willy Sanjuan/Invision/AP/Willy Sanjuan
Jakarta -

Salah satu pemeran drama musikal Glee, Naya Rivera, ditemukan meninggal setelah sepekan menghilang di Danau Piru, California, Amerika Serikat. Ia menghilang sejak 8 Juli lalu, saat naik perahu bersama putranya, Josey.

Jasadnya kemudian ditemukan pada Senin (13/7/2020), setelah pencarian enam hari. Penemuan tersebut diungkap oleh Kantor Sherrif Ventura County.

Dikatakan Bill Ayub, Juru bicara Sherrif Ventura County, Rivera tenggelam usai berusaha menolong anaknya naik perahu yang mereka gunakan. Diungkapkan juga, tidak ada tanda-tanda kekerasan ataupun indikasi bunuh diri.

"Dia mengumpulkan energi yang cukup untuk mengangkat putranya kembali ke kapal, namun tidak berhasil untuk menyelamatkan dirinya sendiri," kata Ayub, dikutip dari Metro.

Lebih lanjut, Josey yang masih berusia empat tahun kini sudah aman bersama keluarganya. Tentu saja, duka tengah dirasakan keluarga besar Rivera terutama anaknya ya, Bunda.

Terkait dampak psikologis anak yang kehilangan orang tua akibat kecelakaan, berdasarkan ulasan yang dilansir Science Daily, anak-anak yang orang tuanya meninggal tiba-tiba, misal karena kecelakaan atau bunuh diri, berisiko depresi tiga kali lipat daripada mereka yang hidup dengan kedua orang tuanya. Dalam jangka panjang, mereka juga bisa berisiko mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD).

Naya RiveraNaya Rivera/ Foto: istimewa

Hasil penelitian

Nadine M. Melhem, Ph.D., dari Fakultas Kedokteran Universitas Pittsburgh, dan rekan-rekannya melakukan identifikasi pada 140 keluarga yang salah satu orang tuanya meninggal karena bunuh diri, kecelakaan, atau kematian alami yang tiba-tiba.

Mereka dibandingkan dengan 99 keluarga yang dua orang tuanya masih tinggal dan hidup bersama, dan tidak ada kerabat tingkat pertama yang meninggal dalam dua tahun terakhir. Penelitian ini dilakukan pada anak usia 7 hingga 25 tahun.

Peneliti menyimpulkan, anak-anak yang orang tuanya telah meninggal mendadak dan kini tinggal dengan pengasuh mereka yang masih hidup, berada pada risiko lebih tinggi mengalami depresi dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD), daripada mereka yang berada di keluarga yang utuh.

Sementara itu, anak-anak dan pengasuhnya yang berada dalam keluarga, di mana orang tua mereka meninggal karena bunuh diri, lebih mungkin mengembangkan risiko PTSD atau gangguan kejiwaan lainnya dibanding mereka yang orang tuanya meninggal karena hal lain.

Gejala-gejala depresi, kegelisahan, PTSD, perilaku bunuh diri anak-anak, dan kesedihan yang rumit seperti ketidakbahagiaan yang parah dan berlangsung lama, dikaitkan dengan gejala yang sama pada pengasuh yang selamat.

"Cara terbaik untuk menipiskan efek kehilangan orang tua di antara anak-anak adalah dengan mencegah kematian dini pada orang tua mereka, dengan meningkatkan deteksi dan pengobatan penyakit bipolar, penyalahgunaan zat dan alkohol, dan gangguan kepribadian, dengan menyikapi korelasi gaya hidup dari penyakit yang menyebabkan kematian prematur atau meninggal dini," tulis peneliti.

Selain itu, penelitian tersebut juga mengingatkan bahwa ketika orang tua meninggal mendadak, pengasuh yang selamat harus dipantau terkait depresi dan PTSD. Alasannya karena kesehatan kejiwaan mereka memengaruhi kesehatan anak-anak.

"Mengingat meningkatnya risiko depresi dan PTSD, keturunan yang berduka harus dipantau dan jika perlu, dirujuk dan dirawat karena gangguan kejiwaan mereka," jelas para penulis.

Simak juga intimate interview dengan Aldilla Bekti dalam video ini:

[Gambas:Video Haibunda]



(yun/muf)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda