
parenting
Pola Asuh yang Harus Orang Tua Hindari agar Anak Tak Alami Trauma Inner Child
HaiBunda
Kamis, 27 Oct 2022 10:50 WIB


Pola asuh yang tepat dibutuhkan untuk membesarkan anak-anak. Jangan sampai pola asuh yang Bunda gunakan malah membuat Si Kecil mengalami trauma inner child.
Inner child sendiri merupakan sebuah konsep dalam pola asuh orang tua. Anak-anak yang memiliki kenangan yang negatif tentu akan terus mengingat reaksi-reaksi negatif tersebut hingga dewasa.
Pada masa anak-anak, otak sedang membangun pondasinya di mana akan menopang neuron-neuron setelahnya. Kalau pada masa ini Si Kecil memiliki banyak memori negatif, ingatan tentang rasa takut, terbawa perasaan, dan sebagainya, akan muncul kembali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pola asuh yang membentuk inner child
Ada dua pola asuh yang dipercaya bisa membentuk trauma inner child pada anak. Kedua pola asuh ini adalah otoriter dan uninvolved. Berikut ini penjelasannya:
1. Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang tidak melihat keinginan anak. Dalam pola asuh ini, anak harus menurut, bahkan sering kali dilakukan dengan tindak kekerasan seperti memukul hingga menendang. Dalam pola asuh ini, anak seperti diarahkan bagai robot.
Pola asuh otoriter dapat menyebabkan anak merasa terluka, Bunda. Hal ini karena anak membutuhkan kesempatan untuk mengambil keputusan, inisiasi sendiri, serta perlu mengembangkan egonya.
2. Pola asuh uninvolved
Pola asuh uninvolved merupakan kebalikan dari pola asuh otoriter. Pada pola asuh ini, orang tua cenderung tidak mengurus dan mengabaikan anak-anaknya.
Ketika hal ini terjadi, anak akan menjadi bingung dan tidak bisa memvalidasi perilakunya. Biasanya, anak-anak remaja dengan pola asuh ini akan mencari validasi dari orang-orang di sekitarnya seperti anak-anak lainnya atau per grupnya.
Lebih parahnya, anak yang diasuh dengan cara uninvolved tidak bisa percaya diri ketika sudah dewasa. Mereka juga labil dalam hal pengambilan keputusan.
Batasan orang tua boleh memarahi anak
Marah merupakan perasaan yang normal dimiliki setiap orang. Namun ingat, harus dikontrol dengan baik.
Memarahi anak perlu dilakukan orang tua sebagai bentuk ketegasan. Tapu tetap dengan kontrol emosi agar tidak menjadi perilaku impulsif.
Memarahi anak adalah hal yang wajar dan boleh dilakukan. Namun, memarahi anak haruslah berdasarkan cinta kasih, bukan berdasarkan pada kebencian.
Dasarnya adalah karena Bunda mencintai Si Kecil, maka Bunda marah. Bukan karena Bunda membenci Si Kecil, sehingga bebas marah-marah ke anak.
Ketika memarahi anak dan menyesal setelahnya, itu tandanya Bunda tidak bisa mengukur kemarahan dan merencanakan sejauh mana Bunda akan marah. Artinya, marah yang dikeluarkan hanyalah salah satu sikap spontan dan impulsif.
Sebaliknya, kalau Bunda marah karena menghukum Si Kecil dan tahu apa alasan Bunda memarahinya, itu tandanya kemarahan sudah terukur. Marah tidak diukur dengan cara berteriak.
Hal yang perlu dilakukan setelah marah agar anak tak sakit hati
Anak-anak yang dimarahi mungkin akan merasa sakit hati. Namun, ada hal yang bisa dilakukan agar anak tidak sakit hati, Berikut ini deretannya:
1. Ketahui alasan marah
Setelah marah, anak mungkin akan merasakan sakit hati. Jadi itu, sebelum marah, Bunda harus tahu alasan kenapa sampai marah sehingga bisa mereka mengerti setelahnya.
2. Jangan berlebihan
Ketika marah, Bunda pasti akan memperlihatkan ekspresi wajah dan nada bicara yang berbeda. Karena itu, jangan sampai mengeluarkan ekspresi wajah yang menakutkan serta nada yang meninggi.
Jangan lakukan marah dengan cara yang meledak-ledak. Lakukanlah marah dengan cara yang tegas sehingga Si Kecil mengerti konsekuensi yang harus ia terima.
3. Jelaskan
Jelaskan pada anak apa alasan Bunda memarahinya. Ketika ia mengetahui apa yang membuat Bunda marah, anak akan bertanggung jawab dan mulai menunjukkan perubahan.
Pentingnya validasi perasaan anak
Memvalidasi perasaan anak merupakan hal yang sangat penting. Dengan memvalidasi perasaan anak, Bunda bisa mengukur seberapa jauh hubungan yang Bunda bangun dengan Si Kecil. Ketika anak sudah tidak lagi mau mengungkapkan isi hatinya, itu tandanya kedekatan antara orang tua dan anak mulai berkurang.
Semakin anak memiliki hubungan yang jauh, semakin anak akan diam dan tidak ingin mengungkapkan isi hatinya. Jadi, Bunda perlu mengajaknya berbicara ketika ia mengalami suatu perasaan tertentu.
Ketika anak bisa mengidentifikasi perasaan dan mengendalikannya, itu tandanya anak sudah mengenal perasaannya seperti apa, Bunda. Orang tua yang memiliki tugas untuk mengenalkan perasaan-perasaan ini pada Si Kecil.
Melakukan deep interaction dan deep talk
Deep talk dan deep interaction penting dilakukan sejak anak masih bayi. Mengapa perlu dilakukan sejak sedini mungkin?
Anak usia 2 tahun biasanya mendapatkan deep interaction berupa pelukan, gendongan, serta sentuhan-sentuhan, Bunda. Sementara itu, deep talk bisa Bunda lakukan dengan cara meminta Si Kecil bercerita tentang teman-temannya, perasaannya, dan sebagainya.
Kata-kata yang harus dihindari orang tua untuk anak
Selain aktivitas seperti memukul dan mencubit, ternyata ada pula beberapa kata-kata yang harus dihindari oleh orang tua untuk anaknya. Kalimat-kalimat ini harus dicegah karena bisa melukai batin anak. Berikut ini deretannya:
1. Merendahkan harga diri anak
Kata-kata yang merendahkan harga diri anak biasanya berupa celaan fisik. Misalnya:
"Kamu ini gendut banget"
"Kamu jelek"
"Kok kamu hitam banget, sih?"
2. Tentang kepribadian
Kata-kata yang harus dihindari oleh orang tua lainnya adalah yang membicarakan tentang kepribadian. Misalnya saja sebagai berikut:
"Kamu ini nakal banget"
"Kamu ternyata anak yang lemah"
"Kamu kok cengeng banget"
3. Prestasi
Kata-kata yang merendahkan prestasi biasanya dilakukan dengan cara membanding-bandingkan anak dengan anak lainnya. Misalnya saja sebagai berikut:
"Kamu itu bodoh"
"Nilaimu kok 60? Padahal si dia bagus"
"Kamu ini kok olahraganya enggak bisa?"
Alasan anak yang lebih besar suka melawan
Anak mengalami trauma inner child, pada usia yang lebih besar akan mulai sulit untuk diarahkan dan cenderung melawan, Bunda. Hal ini terjadi karena tidak adanya pemberian asuhan yang tepat.
Ketika anak berusia 0 sampai 6 tahun, orang tua harus bersikap lebih banyak banyak memaklumi dan memberi kebebasan.
Beranjak besar, di usia 7 hingga 12 tahun, atau usia SD, anak harus mulai diarahkan dengan peraturan-peraturan. Jadi, di usia ini anak akan membentuk kedisiplinan mulai dari mengerjakan PR, waktu bangun tidur, hingga pelaksanaan ibadahnya. Ketika anak berusia 13 tahun ke atas, yakni tingkat SMP dan SMA, orang tua hanya perlu mengarahkannya saja karena karakternya sudah mulai terbentuk.
Dengan begitu, ketika orang tua menasihati anak di usia remaja dengan susah payah dan selalu dilawan atau diabaikan, itu tandanya masa-masa pembentukan karakter di SD sudah terlewatkan, serta usia 0-6 tahun tidak diperlakukan layaknya seorang raja.
![]() |
Cara orang tua redam emosi ketika marah
Emosi orang tua ternyata juga bisa diredam lho, Bunda. Ada dua hal yang perlu dipahami, yakni tentang awareness dan pelatihannya. Simak ulasannya:
1. Awareness
Awareness adalah tentang kepekaan dan kesadaran akan konsekuensi yang akan didapatkan. Ketika orang tua ingin marah, mereka bisa mengidentifikasi hal ini.
Awareness dibangun dengan ilmu pengetahuan. Jadi, ketika orang tua tidak banyak membaca dan mencari informasi, mereka tidak akan mengerti. Kalau awareness sudah bagus, maka keterhubungannya akan lebih kuat.
Saat orang tua aware, mereka bisa mengendalikan tubuhnya, pikirannya, serta perasaannya, Bunda. Kalau semua sudah bisa dikendalikan, maka efek dari emosi yang keluar pun akan seimbang.
2. Pelatihan
Ada akronim S-T-O-P yang bisa Bunda pelajari untuk bisa menahan amarah dan emosi. S berarti Stop, T artinya Take a breath, O artinya Observe, dan P artinya Proceed.
Ketika sedang marah, orang tua harus menghentikan amarahnya terlebih dahulu. Kemudian, ambil napas dalam sebanyak tiga kali. Setelahnya, lakukan observasi tentang alasan Bunda marah. Setelahnya, Bunda baru bisa menyelesaikannya.
Anak dengan inner child akan mempengaruhi kecerdasan
Anak-anak memiliki emosi yang positif karena sedang dalam mode growth atau tumbuh, Bunda. Sementara itu, anak yang kerap dimarahi memiliki emosi negatif sehingga membuat anak dalam survival mode atau mode bertahan. Anak tidak akan tumbuh dengan baik.
Secara alamiah, anak memiliki emosi yang positif. Meski begitu, kalau anak mendapatkan trigger atau stresor dari orang tua, maka anak akan memiliki emosi negatif. Hasilnya, anak tidak akan tumbuh secara kognitif dan sosial sehingga merusak akal dan prestasinya.
Haruskah bawa anak 'nakal' dibawa ke psikolog?
Membawa anak ke psikolog perlu dilakukan jika orang tua tidak memiliki ilmu pengetahuan, baik dari sumber daya maupun skill. Karena itu, Bunda disarankan untuk pergi ke profesional.
Meski begitu, kalau orang tua memiliki akses-akses informasi, mereka mungkin bisa mengatasinya sendiri. Tapi, kalau orang tua tidak memiliki ide dan tidak memahami, maka wajib meminta bantuan profesional.
Sebelum membawa anak ke psikolog, Bunda perlu mengukur perilaku anak terlebih dahulu. Perilaku anak dikatakan upnormal ketika sudah tidak lagi mendengarkan kata-kata orang tua, merokok di usia dini, berkata kasar, mencuri, dan sebagainya. Sementara anak ngambek atau marah masih dalam batas normal.
Terkadang anak membutuhkan orang lain yang netral dan masukannya bisa didengarkan. Meskipun anak tetap bersikap memberontak pada orang tuanya, terkadang anak tetap bersikap sopan dengan orang baru.
Pentingnya minta maaf pada anak
Kalau orang tua tidak salah, maka tidak perlu meminta maaf. Terkadang, orang tua meminta maaf dengan cara yang dramatis sehingga anak menganggap orang tua berada di bawahnya, Bunda. Hal ini adalah konsep minta maaf yang salah yang harus diperbaiki.
Kalau orang tua ingin meminta maaf pada anak, lakukanlah dengan cara yang elegan sebagai orang tua. Orang tua tidak bisa menjadi teman anaknya, namun orang tua bisa bersahabat dan berteman. Ketika meminta maaf, orang tua tetap harus menjaga perannya.
Semoga informasinya membantu ya, Bunda.
Simak juga pola asuh orang tua di Jepang untuk membentuk kedisiplinan anak dalam video berikut:
ARTIKEL TERKAIT

Parenting
6 Dampak Father Hunger, Sebabkan Kenakalan Remaja hingga Sulit Identifikasi Gender

Parenting
3 Langkah Mengenal Minat & Bakat Anak Sejak Dini untuk Optimalkan Potensinya

Parenting
Cegah Insecure saat Kumpul Lebaran, Ini 3 Tips Kuat Mental Saat Disenggol soal Parenting

Parenting
3 Cara Mengobati Luka Batin Anak Saat Bunda Terjebak Toxic Parenting

Parenting
Pahami Tanda Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual & 3 Langkah Menyembuhkan Traumanya


7 Foto