Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

3 Cara Mengobati Luka Batin Anak Saat Bunda Terjebak Toxic Parenting

Danang Baskoro, M.Psi., Psikolog   |   HaiBunda

Kamis, 07 Apr 2022 11:40 WIB

Dokter Sisipan
Danang Baskoro, M.Psi., Psikolog
Danang Baskoro, M.Psi., Psikolog (@danangpsikolog) adalah psikolog klinis di RSJ Menur Surabaya. Menulis lebih 10 buku psikologi populer, aktif memberi seminar, training parenting, self healing, dan kesehatan. Danang adalah founder Brilian Psikologi.
mother scolds her child
Mengobati luka batin anak korban toxic parenting// Foto: iStock

Belakangan, istilah toxic parenting semakin populer untuk menyebut gaya pengasuhan orang tua yang tidak sehat. Tapi, apa sih sebenarnya toxic parenting itu?

Toxic Parenting adalah cara pengasuhan dari orang tua yang membuat pertumbuhan anak terhambat. Pertumbuhan pada anak ini mencakup emosi, fisik, dan psikologisnya.

Pada dasarnya, semua orang tua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi, tidak semua menyadari gaya pengasuhannya termasuk toxic parenting, Bunda.

Terkadang, ada orang tua yang secara knowledge, dia tahu bahwa pola pengasuhannya salah. Tapi, dia melakukan semua itu tanda sadar atau refleks karena emosi.

Tanda-tanda toxic parenting

Berikut tanda-tanda toxic parenting pada orang tua:

1. Menggunakan kata-kata kasar

Tanda toxic parenting bisa dimulai dari penggunaan kata-kata kasar saat mengasuh anak. Kata-kata kasar ini melebihi kritik dan dapat berupa 'labeling', Bunda. Misalnya dengan mengatakan ke anak, 'kamu ini bodoh'.

2. Suka main fisik

Orang tua yang toxic bisa menggunakan kekerasan dalam mengasuh anak-anaknya. Contohnya, memukul di waktu tidak tepat atau mencubit anak terlalu berlebihan.

3. Mengabaikan atau menelantarkan anak

Kebutuhan anak secara emosi, kognitif, dan fisik harus dipenuhi orang tua. Bila kebutuhan ini diabaikan, secara psikologis anak tidak akan berkembang.

Anak perempuan menutup telinga saat ibunya sedang memarahi dirinya.Mengobati luka batin anak korban toxic parenting// Foto: Thinkstock

Menilai diri dalam lingkup toxic parenting

Satu-satunya cara untuk menilai diri apakah kita termasuk toxic parenting, adalah dengan meminta penilaian dari orang lain. Bunda bisa meminta anak, suami, keluarga, teman, atau psikolog untuk menilai pola pengasuhan yang diterapkan ke anak.

Kita pun harus besar hati menerima penilaian ini dengan memilah ya, Bunda. Setidaknya, kita dapat berubah menjadi lebih baik demi masa depan anak.

Menilai diri sendiri juga penting meski hasilnya subjektif. Terkadang, banyak Bunda merasa menjadi orang tua yang toxic, padahal yang dilakukannya hanya mendisiplinkan anak demi kebaikan.

Jangan karena merasa menjadi toxic parent, Bunda 'longgar' dalam mendisiplinkan anak. Pada akhirnya justru kita benar-benar menjadi orang tua yang toxic karena mengabaikan mereka.

Penilaian toxic parenting ini tergantung dengan parameter atau rujukan. Tapi, akan lebih baik lagi kita tidak menilai sendiri, tapi menerima masukan dari orang sekitar.

Dampak toxic parenting

Anak yang menjadi korban toxic parenting akan mengalami hambatan perkembangan. Berikut dampak toxic parenting pada anak:

  1. Tidak memiliki rasa empati
  2. Kesulitan untuk memahami emosi orang lain
  3. Kesulitan untuk bersikap yang tepat dalam situasi sosial
  4. Sulit menahan keinginannya sendiri
  5. Perilaku tidak terbentuk sesuai norma

Toxic parenting juga dapat berdampak jangka panjang, Bunda. Seseorang yang mengalami pola pengasuhan ini saat kecil akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak matang, serta mengalami hambatan emosi, kognitif, perilaku, atau fisik.

Portrait of a mother scolding to her baby daughter sitting on the floor in the living room at homeMengobati luka anak akibat tocix parenting/ Foto: Getty Images/iStockphoto/AntonioGuillem

Benarkah toxic parenting terkait dengan inner child yang terluka?

Toxic parenting memang bisa terkait dengan inner child seseorang yang terluka saat kecil. Tapi, ini tidak bisa dijelaskan secara sederhana, Bunda.

Inner child pada dasarnya hanya konsep yang dibuat manusia dan ini adalah respons yang kompleks. Inner child yang menyebabkan toxic parenting tak hanya disebabkan karena satu peristiwa, tapi multifaktor.

Anak yang pernah mengalami trauma masa kecil, tidak akan serta-merta membuat dia menjadi orang tua toxic saat dewasa. Apalagi bila orang tua mengawasi dan tidak membiarkan perubahan perilaku yang mungkin terjadi karena trauma.

Peran orang tua sangat penting untuk merespons apa yang dialami anak masih kecil. Meski begitu, toxic parenting karena inner child bisa saja muncul tanpa sengaja saat si anak menjadi orang tua.

Saat anak kecil, dia akan memetakan situasi atau peristiwa yang dialaminya dalam pikiran, terutama tentang bagaimana mempersepsikan keluarga, anak, dan orang tua.

Nah ketika sudah menjadi orang tua, secara tidak sadar dia akan menggunakan peta itu dalam mengasuh anak-anaknya. Meskipun dia tahu tentang pola pengasuhan yang baik, apa yang ada di pikiran bisa keluar dan akhirnya malah bisa menyakiti anak. Semua yang ada di pikiran itu adalah perasaan yang dia rasakan saat kecil.

Ini artinya, dia sebenarnya tahu bahwa hal yang dilakukannya termasuk toxic parenting, tapi tak sadar karena pengkondisian di masa lalu.

Nah, bagaimana cara mengontrol emosi hingga mencegah jadi orang tua yang toxic di halaman selanjutnya!

Simak juga cara mengelola emosi menurut psikolog dalam video di bawah ini:

[Gambas:Video Haibunda]




CARA MENGONTROL EMOSI AGAR TAK MELUKAI HATI ANAK

Young mother scolding her sad little daughter who made a mistake.

Foto: Getty Images/iStockphoto/Choreograph

Mengontrol emosi agar tak mudah marah

Kita harus bisa membedakan antara menghukum dengan melampiaskan emosi ke anak. Tujuan menghukum adalah membentuk perilaku. Artinya, bila perilaku anak tidak terbentuk, artinya hukuman itu salah. Misalnya, kalau kita bentak anak dan dia semakin menjadi-jadi, itu berarti hukuman kita salah.

Sedangkan melampiaskan emosi adalah hukuman yang diberikan ke anak meski dia tidak berbuah salah. Pelampiasan emosi ini dapat muncul dari faktor eksternal, misalnya masalah dengan suami atau beban kerja.

Lalu bagaimana agar Bunda tidak memarahi anak sampai kebablasan? Berikut 3 caranya:

1. Memahami psikologi perkembangan

Agar tidak kebablasan, orang tua harus tahu dampak dari memarahi anak. Contohnya, 'aku ini ingin anak seperti apa di masa depan? ingin anak menjadi apa? Sikapnya terhadapku seperti apa? Kalau dihukum seperti ini, kira-kira akan berdampak enggak ya pada anak?

Nah, agar tahu dampaknya seperti apa, orang tua perlu membekali diri dengan psikologi perkembangan. Manfaatnya adalah Bunda dapat menasehati diri sendiri ketika mulai marah.

2. Menguasai manajemen emosi

Bunda mesti memahami manajemen emosi dan anger management agar tak terlalu berlebihan memarahi anak. Terkadang anak menjadi trigger marah atas masalah yang dihadapi di luar parenting.

Untuk menguasai diri sendiri, Bunda perlu memahami polanya nih. Kalau Bunda marah, anak semakin menangis, Bunda bisa meledak, akhirnya terjadi kekerasan fisik yang melukai anak.

Menguasai manajemen emosi memang tak mudah karena butuh latihan dan kemampuan. Bunda perlu waktu untuk bisa menguasainya dan bila ada kesalahan harus terus diperbaiki.

Angry mother scolding her son at the library. Annoyed mom blaming her child for bad behaviour or marks at schoolMengobati luka batin anak korban toxic parenting/ Foto: Getty Images/iStockphoto/Ihor Bulyhin

Menyembuhkan anak yang terluka karena dimarahi orang tua

Menyembuhkan luka anak yang terluka sebenarnya cukup mudah, Bunda. Pada dasarnya, anak-anak memiliki sifat pemaaf.

Mereka mudah memaafkan orang tua yang kembali memberikan kasih sayang dan perhatian. Berbeda dengan orang dewasa, dunia anak-anak adalah orang tuanya.

Bila anak kehilangan orang tua, maka dunianya akan kosong. Tapi, ketika orang tua kembali mendekati, dia pasti akan menyayangi mereka lagi karena seperti mendapatkan dunianya kembali.

Meski anak memiliki sifat pemaaf, orang tua tetap perlu meminta maaf bila berbuat salah ya. Maaf tidak selalu diucapkan karena itu tergantung dengan konteksnya.

Meminta maaf ke anak juga harus dilakukan dengan benar. Bunda perlu memberikan alasan saat mengucapkan kata maaf.

Contoh yang salah:

"Mama minta maaf ya nak karena sudah pukul kamu."

Contoh yang benar:

"Nak, maafin Mama sudah pukul kamu, Mama melakukan itu karena Mama sayang sama kamu. Mama enggak mau kamu menjadi anak yang tidak baik di masa depan. Karena Mama emosi melihat kamu seperti itu, Mama hukum. Yuk, kita sama-sama saling menjaga biar Mama enggak pukul kamu dan kamu bisa terdidik dengan baik."


Simak cara mencegah agar kita tidak terjebak toxic parenting di halaman selanjutnya, Bunda!

LAKUKAN 3 HAL INI AGAR TAK TERJEBAK TOXIC PARENTING, SALAH SATUNYA AKUR DENGAN SUAMI

Angry mother scolding lecturing stubborn kid closing ears not listening to mom, strict mum talking to rebellious child demanding discipline from preschool girl ignoring rebuke family conflict concept

Mengobati luka batin anak korban toxic parenting/ Foto: iStock

Tips mencegah orang tua agar tidak terjebak di toxic parenting

Berikut 3 cara mencegah orang tua agar tidak terjebak dalam toxic parenting dalam mengasuh anak:

1. Komunikasi yang baik

Pengasuhan yang baik dimulai dari hubungan harmonis antara suami istri. Tugas pertama sebelum mendidik anak adalah memperbaiki hubungan dengan pasangan, salah satunya dengan komunikasi.

Kalau komunikasi sudah terjalin baik, kita pasti akan paham pola pengasuhan yang diterapkan pasangan, begitu pun sebaliknya. Pada akhirnya, kita dapat menilai pola pengasuhan yang baik dan bisa mengombinasikan beberapa pola pengasuhan yang berbeda.

Komunikasi dapat dibuka dengan berdialog. Ayah dan Bunda dapat mendiskusikan pola asuh yang sesuai untuk anak dan mengeliminasi yang tidak sesuai.

Meski begitu, menjalin komunikasi yang baik dengan pasangan memang tidak mudah. Bila sudah tidak ada jalan pintas, Ayah dan Bunda dapat saling memaafkan, memaklumi, serta melihat ke depan. Bila masih sulit dilakukan, minta bantuan ke psikolog ya.

domestic violence. angry mother scolds   frightened daughter sitting on floorMengobati luka batin anak korban toxic parenting/ Foto: iStock

2. Kompak dan sepakat dengan pola asuh

Selain menjalin komunikasi, Ayah dan Bunda juga harus kompak. Artinya, sejak awal sudah menyepakati tentang pola asuh yang akan diterapkan ke anak.

Jangan sampai Ayah menjadi sosok sabar, yang selalu membela anaknya saat dimarahi sang Bunda. Nantinya, anak akan mendapat penguatan dari Ayahnya dan bisa berpikir bahwa Bundanya adalah orang jahat. Hal ini dapat berdampak buruk pada anak karena bisa menimbulkan persepsi buruk terhadap seorang perempuan, terutama sosok ibunya.

Ketika Bunda memarahi anaknya, Ayah harus bersikap pantas. Artinya, Ayah harus setuju dengan Bunda dan memvalidasi bahwa yang dikatakan Bunda adalah benar, tanpa ikut-ikutan marah.

Meski Ayah merasa yang dilakukan Bunda salah atau berlebihan, sebaiknya tidak memberikan penguatan dengan membela anak tanpa alasan. Di situasi itu, Ayah juga jangan sampai menyalahkan Bunda di depan anak ya. Hal itu hanya akan memvalidasi perasaan anak bahwa ibunya memang salah. Bila ingin menegur, sebaiknya dilakukan tidak di depan buah hati.

3. Saling mengerti

Pilihan lainnya adalah menerima pola asuh dengan mencari alasan yang logis. Artinya, bila Bunda marah, Ayah harus memahami alasannya. Jika demi kepentingan anak, maka cobalah untuk pengertian dan mendukung Bunda.

Sebaliknya, bila Ayah dirasa selalu membela anak, Bunda juga harus mencari tahu alasannya. Bisa saja ayah melakukan itu semua karena tidak ingin melukai perasaan anak.

Cobalah menyesuaikan pola asuh masing-masing demi kebaikan anak ya, Bunda. Komunikasi yang baik, kompak, dan pengertian antara pasangan adalah cara tepat untuk mencegah toxic parenting.


(rap/rap)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda