cerita-bunda
Dulu Rela Resign Demi Keluarga, Suami Enggak Peka & Kini Aku Malah 'Gila' Hadapi Anak
Senin, 06 Dec 2021 17:15 WIB
Hidup memang tak seindah yang dibayangkan. Dulu, kukira menikah akan membuatku bisa menjadi ibu rumah tangga seutuhnya yang menikmati peran mengurus anak dan suami.
Namun, saat menjalaninya terasa sangat berat. Oh ya, perkenalkan, aku adalah Bunda dari dua orang anak yang berusia 4 tahun dan 2 tahun.
Awalnya, aku adalah Bunda bekerja yang menjalani rutinitas biasa. Saat masih memiliki satu anak, aku masih mampu meng-handle urusan rumah dan pekerjaan, namun saat anak kedua lahir, aku memutuskan untuk resign dari pekerjaan tersebut.
Saat ini pun, aku menjalani rutinitas full sebagai Ibu Rumah Tangga alias (IRT). Suami pun tidak keberatan karena ekonomi kami terbilang mapan, dan soal keuangan bukan menjadi masalah dalam keluarga kami.
Namun, ada satu hal yang menjadi masalah dalam hidupku. Masalah itu justru datang dari emosiku yang seringkali tak bisa terbendung.
Sejak sebelum menikah, sebenarnya aku sudah menyadari kalau memiliki kepribadian yang temperamental. Saat si sulung lahir, kondisi emosiku sebenarnya masih bisa dibilang cukup terkendali.
Meskipun marah-marah, tapi tidak sekalipun aku membentak, memarahi, memukul, dan mencubit anakku. Meskipun kondisiku sangat lelah karena bergadang sampai larut malam dan paginya harus kerja lagi, rasanya masih oke oke saja. Sangat lelah tapi, aku tak pernah emosi pada anak pertama.
Namun, emosi ini rasanya sulit dikendalikan sejak kehadiran anak kedua. Kalau mood sedang baik, aku bisa sangat sabar menghadapi kerewelan, keaktifan, dan tangisan anak.
Tapi, kalau mood sedang buruk, emosiku meledak tanpa terkendali. Emosiku rasanya semakin meledak saat melihat anak pertama dan kedua yang sedang aktif-aktifnya dan tantrum super parah.
Aku lelah saat mereka rewel. Aku lelah mendengar tangisan mereka. Aku lelah dengan tingkah laku anakku. Bahkan, entah mengapa aku tak bisa mengendalikan emosi saat anak-anakku tidur lebih dari jam 08.00 malam.
Emosi yang sudah ditahan-tahan bisa meledak seketika, jika mereka berdua tak kunjung tidur. Ujung-ujungnya aku memarahi mereka, membentak, mencubit pantatnya.
Kalau sudah seperti itu, yang terlintas di pikiran, "Kenapa anak-anak enggak tahu kalau Bundanya ini lelah seharian."
Menghadapi kemarahanku, anak-anak pun biasanya diam sebentar. Meski kerap kucubit, mereka cepat melupakan rasa sakit atas di badannya, karena setelah itu mereka kembali tertawa, mainan, dan lari-larian di kasur.
Marah memang wajar dilakukan Bunda pada anaknya. Tapi, aku seringkali mencubit dengan mencari bagian tubuh yang empuk agar mereka merasakan kesakitan yang teramat sangat.
Respon suamiku......Baca di halaman selanjutnya!
Bunda, simak juga yuk cerita Mommy ASF selesaikan cerita Layangan Putus jadi buku dalam video di bawah ini: