Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

cerita-bunda

Ibu Mertua Sebabkan Luka Inner Child yang Akhirnya Menurun Pada Kakak Iparku

Sahabat HaiBunda   |   HaiBunda

Jumat, 12 Aug 2022 17:45 WIB

Ilustrasi ipar
Foto: Getty Images/iStockphoto/Doucefleur

Aku adalah ibu rumah tangga dengan dua orang anak. Aku bahagia dengan kehidupanku bersama suami dan anak. Hanya saja kadang aku merasa ada yang tidak tepat ketika berada di rumah mertua. Aku kira perasaan tidak nyaman ini hanya aku yang merasakan ternyata kakak iparku juga.

Kakak iparku adalah ibu dengan dua orang anak juga. Sebut saja Kak Mei. Usianya sekitar 37 tahun. Dia memiliki anak usia SMP dan balita usia tiga tahun. Balitanya memang cukup rewel ketika di rumah. Dulu sih kami kira karena anak tersebut belum terbiasa tinggal di rumahnya karena dia terbiasa ikut bersama ayahnya bekerja di luar kota.

Tapi di desa ini, kakak ipar sudah mempunyai rumah tepat di samping rumah mertuaku. Semenjak anak pertamanya pindah sekolah di desa, mereka memutuskan tinggal menetap di sini. Hanya suaminya saja yang bekerja di luar kota.

Namun, sudah berada di desa lebih dari tiga bulan tetapi si balita tetap saja rewel, sering menangis, dan tantrum. Dalam pandanganku ini terjadi karena si anak belum jelas jika berbicara. Jadi orang dewasa kadang bingung menangkap maksud si anak ini.

Si anak memang sangat menempel pada ibunya, kakak iparku. Pada waktu Idul Adha kemarin kakak ipar sibuk memasak daging qurban untuk bapak. Sedangkan suami kakak ipar kelelahan pulang dari kerja. Lalu, si anak ini rewel sekali minta digendong.

Mertua dan kakak ribet datang bolak-balik ke rumahnya antara mengurus anak dan masak daging kurban. Aku juga sibuk dengan bayiku sendiri yang baru berusia 7 bulan dan memasak. Jadi kami masing-masing kerepotan.

Menurutku anak usia tiga tahun jika memang kondisi rewel kadang memang meminta digendong atau dipangku cukup lama. Pasti ada yang membuatnya tidak nyaman makanya dia bersikap seperti itu. Tetapi sikap ibu mertuaku sangat tidak kuduga.

Dia justru berkata,"Tak kremus sisan kowe ngko!" (Aku gigit sekalian kamu nanti) sambil tangannya hendak mencubit paha cucunya yang ada di gendongan. Untung saja aku lewat di depannya, jadi cubitan itu urung dilakukan. Aku bisa melihat sorot mata ibu mertua yang kesal, melotot sangat menakutkan.

Ini membuat pukulan tersendiri bagiku. Duh, gimana kalau aku menitipkan anakku ke Beliau pada saat anakku rewel? Tapi apa yang terjadi keesokan harinya saat aku ngobrol dengan kakak ipar membuka mata mengenai apa yang terjadi.

Klik di halaman selanjutnya ya, Bunda.


Ternyata Ipar Jadi Ikutan Galak ke Anak

Ilustrasi saudara ipar

Foto: Getty Images/iStockphoto/DragonImages

Inner Child itu terlihat dari emosi

Hari berikutnya ketika aku dan kakak ipar sedang mengobrol sambil menjaga anak kami masing-masing. Anak kakak ipar tiba-tiba minta jajan. Kebetulan aku punya warung kecil di rumah. Aku bilang,”Ambil saja”. Tetapi kakak ipar melarang bahkan menepis tangan anaknya dengan kasar.

Karena sangat merengek akhirnya kakak ipar mengalah. Anaknya terlanjur takut tapi ingin jajan. Dia tidak bisa mengatakan yang dia inginkan. Dia juga tidak mau menunjuk ataupun mengambil sendiri. Kakak iparku langsung meletakkan anaknya yang tadi ada di pangkuan sambil berkata,”Cepetan! Kamu mau apa? Kamu ini gimana sih?”.

Di sini aku bisa melihat temperamen kakak ipar dengan ibunya ini mirip. Jika dia tidak suka atau merasa malu, maka emosinya akan dilemparkan kepada anak. Anak harus menurut tidak diberi pilihan ketika membeli sesuatu. Setiap kali jajan di tempatku pasti ibunya yang memilihkan bahkan perihal warna balon yang dibeli saja bisa adu bicara. Padahal ‘kan anaknya yang akan main balonnya.

Banner Perut Kedutan Saat HamilFoto: haibunda/com/Novita Rizky

Aku bertanya kepada suamiku,”Apakah sejak kecil ibunya bersikap sangat dominan di rumah? Apakah sering ibunya memberi bentakan ataupun sangat mengatur dirinya?”. Suamiku mengatakan sejak kecil memang dirinya sudah biasa dimarahi atau diberi suara tinggi oleh ibu dan kakaknya.

Oh, Tuhan jadi ini inner child yang diwariskan dari ibu mertua. Aku sering mendengar kata,”Hiiih, kamu tuh!”. Ada label-label tidak baik untuk anak dan juga nada suara yang kesal serta meninggi. Dari sini aku diskusi dengan suami supaya inner child yang bergejolak ini tidak menimpa pada anak-anakku.

Aku tidak terpengaruh dengan mereka. Kalau bisa aku ingin membantu mereka memeluk diri kecil mereka itu. Bagiku, sebagai orang tua aku tidak selalu benar dalam bersikap maupun bertindak. Ada kalanya aku salah. Aku harus mengakuinya jika itu terjadi saat bersama anakku.

Saat aku kelepasan berteriak aku berusaha membiasakan diri meminta maaf dengan tulus. Jujur saja, anak sulungku yang punya sifat dominan kuat sangat sulit akur dengan neneknya alias ibu mertuaku. Hampir setiap hari kepalaku rasanya pusing mendengar ibu mertua dan anakku adu mulut. Yang tua tidak mau mengalah apalagi yang kecil.

Orang dewasa selalu benar, itu yang kulihat dari sikap mertua dan kakak iparku. Anak harus selalu patuh. Tidak diberi pilihan dan kesempatan berpendapat.

Aku tidak menerapkan hal tersebut bersama suamiku ke anak kami. Jadi pikirku wajar saja jika anakku tidak suka cara neneknya yang terlalu mengatur dirinya. Bahkan saat neneknya salah, si nenek tidak mau minta maaf.

Salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk memutus rantai luka inner child ini adalah melakukan edukasi. Inner child bukan sesuatu yang harus dijadikan momok. Ia harus dipeluk, diterima, dimaafkan juga dicintai.

Belum lama ini aku mengikuti kelas whatsapp terkait inner child. Pemberi materi dalam kelas whatsapp tersebut adalah dr. Anisa Cahya yang merupakan penasihat Motherhope Indonesia. Di dalam penjelasan beliau salah satu cara memutus rantai inner child yang terluka ini yaitu dengan melakukan re-parenting yaitu kembali belajar dan memasukkan ilmu kasih sayang pada diri sendiri.

Menyadari bahwa ada yang keliru dari cara pandang dan sikap kita kepada anak. Lalu, dalam proses re-parenting ini kita bisa melakukan butterfly-hug. Teknik menyilangkan kedua lengan di depan dada. Tarik nafas panjang perlahan sambil menutup mata. Ucapkan kalimat-kalimat positif untuk diri sendiri.


“Tidak ada yang salah dengan perasaanmu di waktu kecil.
Tidak apa merasa sedih
Tidak apa merasa kecewa
Tidak apa merasa marah
Tidak apa merasa ingin memberontak
Kamu tidak salah.
Aku minta maaf padamu
Aku mencintaimu
Aku menemanimu
Aku bersamamu
Aku menghargaimu
Aku memaafkanmu
Kamu luar biasa"

(Bunda Kennia April, tidak memberi lokasi)

Mau berbagi cerita, Bun? Yuk cerita ke kami lewat [email protected]. Cerita terbaik akan mendapat hadiah menarik dari HaiBunda.

Simak juga video berikut mengenai Cerita Bunda yang merasa bersalah. Hmm, ataukah benar rasa bersalah itu wajar adanya?


(ziz/ziz)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda