Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

haibunda-squad

Cerita Sara Djojohadikusumo Saat Tahu Hamil Anak Down Syndrome, Nangis 2 Jam

Annisa Afani   |   HaiBunda

Jumat, 02 Apr 2021 19:12 WIB

Sara Djojohadikusumo dan keluarga
Sara Djojohadikusumo dan keluarga/ Foto: Sara Djojohadikusumo

Rahayu Saraswati Dhirakanya Djojohadikusumo atau yang dikenal sebagai Sara Djojohadikusumo merupakan seorang politikus dan bergabung sebagai anggota DPR. Meski begitu, tak banyak orang yang tahu bahwa wanita dengan sapaan Sara ini memiliki anak dengan Down Syndrome.

Sara sudah mengetahui kondisi Si Kecil dari usia kehamilan 14 pekan. Saat itu ia melakukan uji darah berupa Non Invansive Prenatal Testing (NIPT) dan dari situlah terlihat ada kelainan dari kromosom si bungsu.

"Dokter memanggil kami, dan biasa ya kalo dipanggil sama dokter tentu kita deg-degan. Dari situ dikasih tahu kalau si baby ini ada Down Syndrome," kenang Sara ketika berbincang dalam HaiBunda Squad Maret dengan tema 'Berdamai dalam Mendampingi Anak Berkebutuhan Khusus' di akhir Maret 2021.

Banner Rumput FatimahFoto: HaiBunda

"Saat kami ke dokter itu pagi, siangnya saya dan suami lanjut makan di sebuah mal. Di situ selama dua jam saya ngga berhenti nangis," ceritanya lagi.

Dikatakan politisi muda itu bahwa ia bukan sedih karena kondisi sang jabang bayi. Melainkan sedih mengingat apakah dunia siap menerima Si Kecil? Bagaimana nanti dunia akan memperlakukannya?

Sedangkan sang suami, Harwendro Aditya Dewanto, memberi reaksi yang luar biasa. Dikatakan Sara, ada satu kalimat yang membuat Sara makin cinta dan yakin dengan sang suami.

"Suami saya bilang, selama anak ini mau berjuang, kita akan berjuang bersama dia. Maka itu nama anak kami Wira yang artinya 'Warrior' atau pejuang," kata Sara.

HaiBunda Squad 27 Maret 2021HaiBunda Squad 27 Maret 2021/ Foto: HaiBunda

Selain itu, Sara juga menceritakan bagaimana perjuangannya saat pertama kali memberitahu keluarga bahwa ia akan memiliki anak berkebutuhan khusus. Untungnya keluarga, termasuk orang tua dan mertua, menerima dengan baik.

"Saat kami sudah menerima (kondisi anak down syndrome), kemudian memutuskan untuk menyampaikan pada orang tua dan inner circle lha, ya. Untungnya mereka semua menerima," tuturnya.

"Karena saya menggunakan kata-kata, 'Tolong untuk menerima anak saya dan mengasihinya seperti mengasihi kakaknya'," lanjut Sara.

Lebih lanjut, Sara juga tak khawatir jika salah satu keluarga atau orang terdekatnya tak menerima si anak, Bun. Karena bagi Sara, itu bukan hal penting yang perlu ia pikirkan.

"Saya sih istilahnya, kalau enggak bisa menerima ya, bye! Itu artinya Anda tidak memiliki value yang sama dengan saya, dan berarti tidak perlu ada di hidup saya. Sudah, bye," sambungnya lalu tertawa.

Sara Djojohadikusumo dan keluargaSara Djojohadikusumo dan keluarga/ Foto: Sara Djojohadikusumo


Dikatakan Dra.Anisa Cahya Ningrum, Psikolog, selaku founder Cahya Communication dan Tim Khusus IC4RD, keluarga yang tidak bisa menerima Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) itu berakar dari kekhawatiran dan ketidaktahuan mereka harus apa. Di sinilah peran Ayah dan Bunda yang harus menjadi pemandu mengenai apa yang harus dilakukan. 

"Jika kita terlihat tabah, kuat, dan menyayangi ABK setidaknya itu menyentuh mereka (keluarga). Sebenarnya kenapa mereka tidak menerima? Karena mereka sangat khawatir. Dan yang kedua, mereka ngga tahu harus ngapain," jelas Anisa pada acara yang sama.

"Jadi kita harus memandu mereka. Tahapan-tahapan terapi kita ceritakan saja itu sudah bisa membantu setidaknya keluarga yang lain menerima," tegasnya.

Juga jangan berkecil hati jika ada keluarga Bunda yang menolak ABK. Sebab, kasus ini dialami oleh banyak keluarga. Tapi tetap, tegas Anisa, bahwa Bunda harus menjadi contoh pemberi kasih sayang pada anak --apapun kondisinya.

Simak keseruan HaiBunda Squad Maret dengan tema 'Berdamai dalam Mendampingi Anak Berkebutuhan Khusus' bersama Sara dan psikolog Anisa dalam video berikut ya, Bun!

[Gambas:Video Haibunda]


Masa Depan Anak Berkebutuhan Khusus

Smiling mother showing her daughter with down syndrome the model of the planet

Ilustrasi bunda dan anak berkebutuhan khusus/ Foto: iStock

Nah Bunda, orang tua memiliki peran, tugas, dan tanggung jawab yang besar. Tak terkecuali para orang tua dengan anak berkebutuhan khusus (ABK).

Seperti Bunda tahu, anak berkebutuhan khusus butuh perawatan dan metode pendidikan berbeda dari anak-anak lain. Wajar kalau tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus membuat cemas orang tua selama pandemi ini

Dikatakan psikolog klinis Dr. Dan Peters, Ph.D., para orang tua khawatir, akankah anak berkebutuhan khusus bisa belajar membaca dan menulis? Bisakah mereka mengerjakan matematika? Akankah mereka belajar bagaimana mengelola perasaan dan perilaku?

Belum lagi kekhawatiran soal masa depan anak berkebutuhan khusus seperti, apakah mereka akan kuliah hingga dapat pekerjaan yang baik? Bisakah mereka hidup sendiri dan menjaga diri sendiri? Akankah mereka bahagia dan sukses? Dan mungkin masih banyak pertanyaan lain.

"Orang tua cemas dan stres karena ingin anaknya bahagia dan memiliki kehidupan yang bermakna," ujar Peters, dikutip dari Psychology Today.

Untuk mencegah stres dan jadi orang tua bahagia, Peters menyarankan, fokus pada diri sendiri adalah salah satu hal terbaik yang bisa Bunda lakukan untuk anak. Menurutnya, anak-anak berkebutuhan khusus juga perlu melihat orang tua hidup dalam kehidupannya sendiri.

"Mereka ingin kita memberi ruang. Mereka juga ingin kita tidak mengkhawatirkan mereka," kata Peters.

Selain itu, ABK termasuk anak dengan gangguan autisme, memiliki masalah dalam berbagai aspek. Terapi okupasi pun menjadi salah satu proses belajar yang dibutuhkan anak berkebutuhan khusus.

Dikutip dari Autism Speak, terapi okupasi adalah sistem belajar yang membantu seseorang melatih keterampilan kognitif, fisik, sosial, dan motoriknya.

Hal ini bertujuan untuk melatih kemampuan anak berkebutuhan khusus melakukan aktivitas sehari-hari. Diharapkan nantinya anak bisa tumbuh lebih mandiri dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas.

Dengan kata lain, terapi okupasi dilakukan dengan harapan mampu meningkatkan perkembangan anak, membantu meminimalkan risiko terlambat berkembang dan memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Khusus untuk anak dengan gangguan autisme, program terapi okupasi sering kali berfokus pada keterampilan bermain, belajar, dan perawatan diri. Strategi terapi okupasi juga dapat membantu mengelola masalah sensorik.

Simak informasi selengkapnya di halaman berikut ya, Bunda.

Siapa Saya yang Butuh Terapi Okupasi?

Cute small boy with Down syndrome playing with toy in home living room

Foto: instagram

Terapi okupasi umumnya dibutuhkan oleh ABK, termasuk anak yang memiliki tantangan fisik akibat gangguan seperti cerebral palsy atau cedera otak traumatis.

Selain itu, anak dengan autisme mungkin tidak memiliki disabilitas fisik, tetapi banyak yang berjuang dengan tantangan khusus. Beberapa tantangan tersebut di antaranya:

  • Kelemahan oto
  • Disfungsi sensorik (terlalu banyak atau terlalu sedikit respons terhadap sentuhan, suara, cahaya, bau, atau rasa
  • Kesulitan dengan kemampuan (kurangnya koordinasi
  • Kurangnya keterampilan meniru yang biasanya membantu anak mengembangkan keterampilan bermain dan keterampilan hidup sehari-hari

Semua tantangan ini dapat dibantu dan diatasi melalui berbagai bentuk terapi okupasi. Khusus untuk anak dengan autisme, terapis memiliki keahlian khusus untuk terapi bermain, terapi menulis, terapi integrasi sensorik, terapi keterampilan sosial, atau bahkan terapi perilaku.

Menurut American Occupational Therapy Association (AOTA), beberapa masalah kesehatan pada anak yang juga membutuhkan terapi okupasi di antaranya:

  • Cedera lahir atau cacat lahir
  • Cedera traumatis (otak atau sumsum tulang belakang
  • Gangguan pada proses belajar
  • Masalah kesehatan mental atau perilaku
  • Patah tulang atau cedera ortopedi lain
  • Terlambat tumbuh kembang
  • Memiliki riwayat spina bifida dan amputasi traumatis
  • Multiple sclerosis, cerebral palsy, dan penyakit kronis lain


Proses penetapan program terapi okupasi

Agar lebih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan, dokter dan/atau terapis biasanya akan memulai program terapi dengan mengevaluasi tingkat kemampuan anak.

Evaluasi melihat pada beberapa bidang, termasuk bagaimana kemampuan anak saat belajar, bermain, merawat diri, berinteraksi dengan lingkungan.

Berdasarkan evaluasi ini, dibuat target dan strategi yang memungkinkan anak untuk mengerjakan keterampilan utama. Beberapa contoh tujuan umum meliputi kemandirian, melakukan aktivitas harian, dan keterampilan motorik.

Khusus untuk keterampilan motorik halus di antaranya seperti menulis, mewarnai, dan memotong dengan gunting.

Hal-hal lain yang juga diamati yakni kemampuan anak menggunakan benda-benda di sekitarnya, menulis di buku atau papan tulis, serta memberi respons terhadap lingkungan sekitarnya.

Terapi okupasi biasanya dilakukan selama 30 - 60 menit per sesi, bergantung pada kebutuhan masing-masing anak.

Agar pemberian terapi bisa sesuai dengan kebutuhan anak, jangan lupa juga untuk konsultasi terlebih dahulu dengan dokter spesialis rehabilitasi medis, ya. Dokter akan mendampingi anak selama terapi, serta memberikan rekomendasi alat bantu sesuai kebutuhan.


(AFN/ziz)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda