Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

Mental Baja Ibunda Malala, Nekat Mogok Makan di Depan Jenderal

Zika Zakiya   |   HaiBunda

Sabtu, 28 Sep 2019 10:58 WIB

Berkat Ibunda Malala, Toor Pekai, ia dan sang suami bisa menjenguk Malala yang terkapar di rumah sakit di Inggris karena luka tembak.
Malala Yousafzai/Foto: REUTERS/Saiyna Bashir
Jakarta - 9 Oktober 2012 jadi hari tak terlupakan untuk Malala Yousafzai dan keluarga. Ia ditembak di kepala saat berangkat ke sekolah di Lembah Swat, Pakistan. Detik ia tertembak, Malala mengaku tidak ingat apa pun.

Memori terakhir di kepalanya hanya suasana jalan yang sepi dan bunyi kokangan senjata."Chop, chop, chop, drip, drip, drip," demikian suara yang diingat gadis bermata cokelat itu seperti diceritakan dalam buku I Am Malala.


Tembakan itu gagal mencabut nyawa Malala. Ia berhasil dilarikan ke rumah sakit sebelum akhirnya menetap di Rumah Sakit Queen Elizabeth di Birmingham, Inggris. Ia menikmati semua fasilitas itu bukan karena orang kaya. Melainkan sumbangan dari warga dunia yang simpatik pada perjuangan Malala di dunia pendidikan.

Namun demikian, tembakan dalam jarak sedekat itu menimbulkan efek dahsyat; fisik, mental, dan tempat tinggal. Beberapa hari setelah ditembak, Malala harus menggunakan selang di leher. Ia tidak bisa bicara, sakit saat melihat cahaya, kepala selalu nyeri luar biasa hingga tidak mempan diberi heroin, kuping kiri selalu berdarah, dan tangan kiri terasa aneh saat bergerak.

Bisa dibilang, Malala lumpuh saat itu.

Malala Yousafzai Malala Yousafzai / Foto: Jamal Saidi/REUTERS

Secara mental pun ia ringkih. Selama sepekan di Birmingham, kedua orangtua Malala, Zia dan Toor Pekai, tidak bisa menemani. Mereka tertahan di hostel tentara Pakistan di wilayah Rawalpindi karena kepentingan politik dan militer setempat.

Mereka akhirnya berangkat setelah sang Ibu, Toor Pekai, mengancam akan mogok makan. "Jika tidak ada kabar sampai esok hari, aku akan mogok makan!" tegas Toor Pekai yang membuat Zia terdiam.

Sepuluh menit kemudian, Zia kembali dari pertemuan dengan para petinggi militer dan mendapat izin terbang ke Birmingham. "Kamu itu perempuan hebat. Selama ini aku mengira aku dan Malala-lah pejuang di keluarga ini. Tapi nyatanya, kamulah yang paling tahu caranya protes," puji Zia.

Dipaksa pindah ke Birmingham
Hari saat Malala akhirnya bertemu Zia dan Toor Pekai, emosi meledak. Malala tak berhenti menangis di detik pintu terbuka dan memperlihatkan kedua orangtuanya.

Malala dibanjiri ucapan sayang, tangis rindu, dan kecupan. Sebaliknya, Malala hanya bisa menangis dan menangis. "Selama ini aku tidak pernah menangis saat disuntik di kepala. Tapi sekarang, aku sama sekali tidak bisa berhenti menangis," cerita gadis kelahiran 12 Juli 1997 itu.

Pertemuan itu menjadi pembuka berpindahnya keluarga Malala dari Pakistan ke Birmingham. Mereka tidak diperbolehkan pulang ke Tanah Air dan disewakan apartemen di kota tersebut. Meski terlihat lebih baik dari rumah mereka di Lembah Swat, Malala dan keluarga tidak bisa menutupi rasa sedih meninggalkan Pakistan. Untuk sang Ibunda terutama.

Di rumah mereka di Pakistan, ada satu lahan kecil mirip kebun yang dibiarkan terhampar biji-bijian. Tujuannya untuk memberi makan burung-burung yang kelaparan.

"Jangan dibunuh. Jika dibunuh satu (burung), yang tidak mau datang lagi," kata Toor Pekai di halaman rumah yang tinggal kenangan itu. Tetangga pun rajin berkunjung karena budaya Pashtun yang terkenal dekat dengan sanak-famili.

Malala Yousafzai Malala Yousafzai / Foto: BBC

Sekarang....mereka terjebak di perkotaan modern dengan tetangga yang saling tidak mengenal. Kedua adik Malala juga harus pindah sekolah, sama seperti sang Ayah yang harus kehilangan sekolah yang dimilikinya.

Perjuangan ini harus dilalui Malala demi memperjuangkan hak anak perempuan untuk bersekolah. Maklum saja, Pakistan saat itu menjadi sarang Taliban, sebuah gerakan bersenjata, yang melarang perempuan bersekolah. Puncak perjuangan itu terjadi saat Malala ditembak oleh dua orang tidak dikenal yang sampai sekarang tidak pernah ditangkap. Meski demikian, Malala bersyukur.


Berkat tembakan itu, perjuangan Malala bergaung di dunia. Ia jadi dikenal dan membuat warga dunia tergerak membantunya. PBB juga memberikannya kehormatan untuk bicara di Gedung Pusat PBB di hadapan 400 orang perwakilan negara-negara di dunia.

"Biarkan kami mengangkat pena dan buku. Mereka adalah senjata terampuh kami. Satu anak, satu guru, satu buku, dan satu pena maka kami bisa mengubah dunia." ujar Malala yang disambut tepuk membahana.

[Gambas:Video 20detik]

(ziz/som)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda