Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

Bunda Perlu Tahu, Swab PCR Negatif Bukan Lagi Syarat Sembuh COVID-19

Annisa Afani   |   HaiBunda

Sabtu, 24 Jul 2021 15:51 WIB

Mom and daughter wear mask to protect themselves from virus infection
Ilustrasi tes PCR/Foto: Getty Images/iStockphoto/microgen

Sejak pandemi COVID-19 mengguncang dunia, beragam tes untuk pelacakan terus dilakukan. Tak hanya bagi yang sakit, tes ini pun turut diberlakukan sebagai syarat dalam melakukan perjalanan.

Perlu untuk diketahui pula, hingga beberapa waktu yang lalu, tes Polymerase Chain Reaction (PCR) pun menjadi tolak ukur kesembuhan seseorang yang pernah positif COVID-19. Namun kini, hal tersebut tak lagi berlaku, Bunda.

Hal tersebut telah dijelaskan oleh RA Adaninggar selaku dokter spesialis penyakit dalam. Melalui postingannya di akun Instagram pribadinya, wanita yang akrab disapa Inggar mengatakan bahwa tes PCR secara resmi tak lagi dijadikan pedoman, Bunda.

"Tes PCR tidak disarankan untuk evaluasi kesembuhan ini bukan hal yang baru, ya. Sebetulnya sejak bulan Juli atau Juni 2020 itu dari WHO dan CDC sudah menyatakan dan Kemenkes juga sudah mengadopsi bahwa kita tidak perlu melakukan pemeriksaan fisik evaluasi terutama pada kondisi-kondisi pasien COVID-19 yang gejalanya ringan dan isolasi mandiri," tuturnya, dikutip dari akun @drningz pada Jumat (23/7/2021).

Banner Hal Aneh di Indonesia Menurut Orang Malaysia

dr Inggar mengaku bahwa memang, sebelumnya tes PCR menjadi tolak ukur kesembuhan seseorang usai divonis positif. Namun hal tersebut nyatanya tak efektif dan efisien.

Enggak hanya di Indonesia, hal tersebut turut disetujui oleh negara-negara lain. Karena jika hanya berpatok pada hasil tes PCR, maka pasien-pasien tersebut akan tetap dinyatakan terinfeksi sampai beberapa bulan.

"Memang dahulu cara tersebut menjadi pedoman kesembuhan. Dites dua kali (PCR) harus negatif, begitu kan dahulu. Nah secara logistik itu tidak efektif, tidak efisien, dan di luar negeri juga merasakan hal yang sama, jadi orang itu bisa diisolasi selama 3-4 bulan," tuturnya.

Dengan keresahan yang sama, maka disetujuilah untuk melakukan penelitian baru, Bunda. Penelitian ini menilai apakah virus yang menginfeksi pasien akan tetap hidup dan menular pada orang lain

"Nah akhirnya di lakukan penelitian, apakah yang positif-positif ini virusnya masih hidup?"

Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa virus COVID-19 yang menginfeksi tubuh pasien tak lagi dapat menular usai 10 hari. Ini karena tubuh pasien telah membentuk antibodi dan menyerang virus-virus tersebut.

"Lalu ditemukan bahwa setelah 10 hari, si virus ini sudah mulai hancur karena antibodi."

"Antibodi kita itu kan terbentuk sekitar 7 sampai 14 hari. Jadi setelah ada antibodi, maka si virus ini inactive, dia akan hancur sendiri dan akhirnya dia tidak menularkan lagi,"sambungnya.

Simak penjelasan selengkapnya di halaman berikut ya, Bunda.

Tonton juga tips membujuk ART agar mau jalani vaksin COVID-19 dan tes PCR  dalam video berikut:

[Gambas:Video Haibunda]


PCR AKAN TETAP MENDETEKSI COVID-19 DALAM TUBUH HINGGA BEBERAPA BULAN

Ilustrasi tes covid di jalan

Ilustrasi tes COVID-19/Foto: iStock

Dalam kesempatan yang sama, dr Inggar juga mengatakan bahwa tes PCR memang memiliki kelemahan, Bunda. Alat ini tak dapat membedakan materi virus yang sudah mati maupun masih hidup.

Dengan kelemahan tersebut, maka menjadi hal yang wajar jika alat tes ini terus menyebut seseorang masih positif meski sudah tak alami gejala sejak lama. Akibatnya seseorang akan terus divonis positif hingga beberapa waktu.

"Cuma, PCR ini kelemahannya kan dia bisa mendeteksi materi genetik, ya. Ini enggak bisa dibedakan, apakah dia berasal dari virus yang masih utuh atau virus yang sudah rusak. Pokoknya ada materi genetik ya berarti terdeteksi, gitu," ungkapnya.

Selain soal tes PCR, dr Inggar juga membahas tentang penelitian yang membahas soal pengembangbiakan virus. Ini dilakukan pada pasien yang telah terinfeksi selama 10 hari.

Katanya, 90 persen virus yang dimiliki oleh pasien yang terinfeksi selama 10 hari itu tak lagi dapat tumbuh atau dibiakkan, Bunda. Artinya, virus ini tak lagi membahayakan. Sedangkan 10 persen sisanya, itu masih hidup dan tetap menginfeksi tubuh.

"Setelah ada penelitian itu, pada pasien yang positif dilakukan pembiakan virus pada suatu media. Ternyata setelah 10 hari, 90 persen dari virus tersebut tidak tumbuh, 10 persen masih ada," tuturnya.

10 persen virus yang masih aktif ini biasanya ada pada tubuh pasien yang merasakan gejala, Bunda. Gejalanya mungkin tak separah hari-hari sebelumnya, namun ini tetap dirasakan dan berarti belum sembuh total.

"Nah 10 persen ini diperkirakan pada orang-orang yang masih ada gejalanya. Jadi saat virus ini masih menimbulkan gejala, berarti dia belum hilang total, artinya belum sembuh."

"Sehingga dijadikan pedoman, bahwa 10 hari ini waktu minimal untuk lakukan isolasi mandiri," sambungnya.

Lebih lanjut, dr Inggar juga memberi peringatan pada pasien yang merasa tak lagi memiliki gejala, Bunda. Katanya, isolasi tak boleh dilonggarkan dengan buru-buru.

"Lalu jika gejala hilang, kita enggak boleh buru-buru lepas isolasi. Jadi harus menambah 3 hari bebas gejala setelah hari terakhir gejala hilang," katanya.

Kemudian bagi yang tak lagi alami gejala lebih dari 14 hari usai isolasi, maka dapat dikatakan sudah sembuh total. Meski begitu, protokol kesehatan harus tetap diterapkan dengan disiplin karena virus COVID-19 yang terus bermutasi tetap dapat menginfeksi saat imunitas menurun.

"Dan yang masih positif-positif (PCR) ini, itu bisa sampai 3 bulan. Karena bangkai-bangkai virusnya masih melekat dalam tubuh."

"Selama orangnya tidak ada gejala baru, tidak ada sakit yang baru, kontak erat yang baru, ya kemungkinan itu hanya sisa (virus) aja yang terdeteksi," sambungnya.

Simak informasi lainnya di halaman berikut ya, Bunda.

3 TIPS MENJAGA KESEHATAN TUMBUH KEMBANG ANAK DI MASA PANDEMI

Mom and daughter wear mask to protect themselves from virus infection

Anak pakai masker/Foto: Getty Images/iStockphoto/RyanKing999

Melindungi anak selama masa pandemi COVID-19 adalah tanggung jawab orang tua. Ayah dan Bunda perlu menjaga akan agar tidak sakit dan tetap ceria meski hanya di rumah saja.

Selain itu, kita juga perlu memastikan tumbuh kembang anak sudah sesuai usianya. Jangan sampai karena pandemi, kita melupakan tahapan penting pertumbuhan anak, khususnya anak balita.

"Di masa pandemi ini, hak anak yang terpenting adalah melindunginya dari COVID-19. Selain itu, penting pula memenuhi hak anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai usianya," kata Konsultan Tumbuh Kembang Anak, Prof. Dr. dr. Soedjatmiko, Sp. A(K), M.Si, dalam acara Peluncuran Buku Saku #BundaBangga Nestle DANCOW Nutritods via Zoom.

Nah, berikut 3 tips menjaga kesehatan dan tumbuh kembang anak selama masa pandemi yang harus dipenuhi keluarga:

1. Nutrisi

Pada bayi, nutrisi utamanya adalah Air Susu Ibu (ASI). Setelah cukup usia, nutrisi bayi bisa dipenuhi dengan Makanan Pendamping ASI (MPASI).

"Nutrisi ini dapat membentuk struktur otak, dan organ lain dari anak yang penting untuk tumbuh kembangnya. Selain itu, nutrisi juga dibutuhkan untuk perlindungan anak untuk mencegah COVID-19. Nutrisi ini seperti hardware-nya anak," kata Soedjatmiko.

Anak yang kekurangan nutrisi, terutama protein, akan menjadi stunting. Pada tahun 2019, ada 27 persen balita yang mengalami stunting di Indonesia. Stunting dapat membuat kecerdasan anak menurun serta menimbulkan gangguan perilaku.

Dampak kekurangan nutrisi protein dan energi juga terlihat dari kemampuan membaca, sains, dan matematika anak, Bunda. Untuk itu, kita perlu memenuhi asupan nutrisi anak selama masa pandemi ini.

"Penuhi asupan protein hewani dan nabati, ditambahkan sayur dan buah karena itu bisa melindungi anak. Makan itu juga merupakan kebahagiaan bagi anak," ujar Soedjatmiko.

2. Stimulasi

Bila nutrisi adalah hardware, stimulasi merupakan software untuk mengaktifkan otak anak. Salah satu stimulasi yang mudah dilakukan orang tua ke anak adalah bermain. Menurut kajian UNICEF tahun 2014, bermain bersama orang tua atau pengasuh bisa meningkatkan perkembangan kognitif anak, kemampuan bicara, dan respons emosi Bunda.

"Contoh stimulasi adalah bermain. Saat anak bermaib, dia bisa dipuji dengan kasih sayang. Stimulasi bisa dilakukan di rumah misalnya saat anak belajar berjalan atau bicara," kata Soedjatmiko.

Stimulasi lanjutan juga dapat diberikan terutama pada anak usia di atas 1,5 tahun. Beberapa contohnya adalah mengajak anak berdoa, beribadah, membacakan dongeng, bernyanyi bersama, atau melakukan aktivitas kesukaan anak sesuai usianya.

Selama masa pandemi ini, Bunda yang bekerja di rumah tetap bisa melakukan stimulasi ya. Soedjatmiko mengajak para orang tua bekerja ntuk melakukan aktivitas bersama anaknya di rumah, seperti mencuci piring, membantu memasak, atau menggambar di samping Bunda yang sedang work from home (WFH).

"Anak akan merasa dilibatkan dan disayang oleh orang tuanya. Kalau dijauhkan, anak justru tidak gembira. Ingat ya, jangan lupa hargai sekecil apa pun usahanya karena dia akan senang," ungkap Guru Besar FKUI ini.

3. Proteksi

Proteksi adalah perlindungan kesehatan yang bisa kita berikan ke si Kecil agar tidak sakit dan tertular COVID-19. Proteksi ini dapat berupa menerapkan protokol kesehatan (prokes).
Ajarkan anak pentingnya menggunakan masker dan tidak berpergian ke luar rumah. Selain itu, jaga jarak, cuci tangan, dan menerapkan etika batuk yang benar.

Selain prokes, jangan lupa penuhi imunisasi anak ya. Pada anak di bawah 12 tahun, imunisasi lengkap harus dipenuhi agar tidak gampang sakit atau sakit berat. Sementara untuk anak di atas 12 tahun, imunisasi atau vaksinasi COVID-19 bisa diberikan ya.

"Vaksinasi COVID pada anak di atas 12 tahun yang diberikan dua kali akan memberikan perlindungan optimal 65 sampai 94 persen setelah satu bulan vaksin kedua," kata Soedjatmiko.

Terakhir, cegah anak dari cedera dan bentuk kekerasan apa pun. Melalui perlindungan yang baik serta evaluasi, si Kecil akan tumbuh menjadi anak yang unggul, sehat, kuat, ceria, mandiri, dan berperilaku baik.


(AFN/som)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda