Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

RUU TPKS Diterima DPR, Aktivis Korban Kekerasan Seksual Harapkan Ini

Tim HaiBunda   |   HaiBunda

Jumat, 18 Feb 2022 21:18 WIB

Woman judge hand holding gavel to bang on sounding block in the court room.
Ilustrasi Hakim / Foto: Getty Images/iStockphoto/nathaphat

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) tengah didiskusikan. RUU TPKS diharapkan dapat menjadi pedoman penanganan kasus tindakan kekerasan seksual sekaligus menurunkan angka kasus tersebut.

Sejumlah pihak mendesak RUU TPKS untuk segera disahkan, mengingat RUU ini telah dicetuskan sejak bertahun-tahun silam dan belum menemui titik terang. RUU itu bahkan sudah beberapa kali berganti nama.

Saat ini Surat Presiden (Surpres) dan daftar inventaris masalah (DIM) RUU TKPKS sudah sampai ke tangan DPR. Kedua dokumen tersebut dilaporkan sudah diterima oleh Sekretariat Jenderal DPR pada Jumat (11/2/22), pekan lalu.

Dokumen terkait RUU TPKS masih berada di tangan pimpinan sebelum nantinya akan dibahas di Badan Legislasi DPR. Kendati demikian, Jaringan Pembela Hak Asasi Perempuan Korban Kekerasan Seksual mengusulkan agar DPR memakai metode khusus dalam membahas RUU TPKS.

"Kami harap pemerintah bisa lebih terbuka. Mohon kami masyarakat sipil diberi draf supaya bisa melihat sampai mana kebutuhan yang bisa diintegrasikan. Kebutuhan kita bukan sekadar disahkannya RUU ini, tapi apakah substansinya sudah mengakomodasi kebutuhan masyarakat, terutama korban yang sebagian besar perempuan dan anak-anak," kata dr ninik rahayu, SH, MA, anggota Omobudsman dan Direktur JalaStoria di konferensi pers, Kamis (17/2/22).

"Dalam rangka transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas tata kelola pemerintah dalam penyusunan kebijakan, kami berharap pemerintah bisa seterbuka mungkin," lanjutnya.

Banner Kondisi Janin Saat Bunda Berhubungan SeksBanner Kondisi Janin Saat Bunda Berhubungan Seks/ Foto: HaiBunda/Annisa Shofia

Hal serupa juga disuarakan oleh Pakar Hukum Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti. Menurutnya, RUU TPKS harus dirancang sedemikian rupa dengan melibatkan berbagai pihak. Hal itu agar RUU TPKS dapat memberi manfaat semaksimal mungkin untuk korban.

Tidak sekadar selesai dan diresmikan, RUU TPKS harus mampu menangani kasus kekerasan seksual dengan baik dan berpihak kepada korban yang dirugikan.

"Untuk menangani dengan baik semua kasus kekerasan seksual, menangani dalam arti berfokus pada korban baik melalui pemulihan hingga hukum acara, sehingga tidak tumpang tindih dan menimbulkan kebingungan," kata Bivitri.

Ia menambahkan, pemerintah harus tetap bersuara dan menjelaskan apabila ada usulan RUU TPKS yang tidak diakomodasi. Pemerintah harus mampu memberikan penjelasan dengan memakai cara pandang yang tepat, bukan dalam bentuk manipulasi.

Bivitri memaparkan, partisipasi masyarakat sipil terdiri dari tiga hal yaitu hak untuk mendengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan jawaban atas pendapat tersebut. Baca di halaman berikutnya, Bunda.

Saksikan juga video tentang bahaya menganggap normal tindakan pelecehan seksual di bawah ini:

[Gambas:Video Haibunda]


BERPIHAK PADA KORBA

Anxiety disorder menopause woman, stressful depressed, panic attack person with mental health illness, headache and migraine sitting with back against wall on the floor in domestic home

Ilustrasi Pelecehan / Foto: Getty Images/iStockphoto/Chinnapong

RUU TPKS saat ini belum ada kabarnya lagi sejak diterima oleh DPR. Padahal, DIM yang dipublikasikan harus bisa memberikan detail yang jelas. Sementara itu, advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lusi Palulungan mengusulkan agar DPR memakai metode khusus per klaster untuk simulasi RUU TPKS.

Hal tersebut dimaksudkan agar simulasi RUU TPKS dapat berjalan dengan lancar, serta sesuai dengan implementasinya. Metode per klaster melibatkan berbagai pihak SDM agar mendapatkan hasil akhir yang tepat. Tak hanya itu, ia menekankan fungsi utama restitusi ini adalah membantu korban kekerasan seksual.

"Restitusi ini sebenarnya kan kerugian materil dan immateril yang dialami korban. Meski sebenarnya, kerugian itu tidak bisa dinilai memakai uang atau apa pun. Salah satu landasan mengapa restitusi ini penting adalah adanya ganti kerugian terhadap situasi yang dialami korban," tutur Lusi.

"Misalnya banyaknya kasus pemerkosaan yang menyebabkan hamil, hingga kerusakan alat reproduksi mereka, setidaknya ganti kerugian ini bisa menjadi bagian dari pemulihan, di samping bentuk lain seperti penanganan kasus dan layanan seterusnya," lanjutnya.

Para aktivis saat ini masih berharap agar pemerintah melakukan diskusi RUU TPKS dengan lebih mendalam agar nantinya dapat menangani kasus kekerasan seksual dengan baik.

"Proses penyusunan perudang-undangan ini melewati telah pengujian yang berulang, termasuk lewat masyarakat sipil, para akademisi, dan penegak hukum. Sehingga kita bisa membaca lebih awal celah-celah kekeliruan dan tahap pengujian yag tepat," sambung Bivitri.


(anm/anm)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda