Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

3 Tips Hadapi Kebiasaan Balita yang Suka Merengek Tanpa Emosi

Melly Febrida   |   HaiBunda

Kamis, 19 Nov 2020 14:03 WIB

A mother holding a crying toddler daughter indoors in kitchen when cooking.
3 tips hadapi anak merengek/ Foto: Getty Images/iStockphoto/Halfpoint

Bukan hal yang aneh ya, Bunda, kalau anak-anak suka merengek dalam meminta sesuatu. Tapi kalau hal ini terjadi terus-terusan atau setip hari pasti menjengkelkan kan.

Mulai dari pagi hari merengek minta makan, hingga menangis menjerit-jerit saat dimandikan sebelum sekolah. Duh, rasanya kepala mau pecah ya, Bunda, dalam situasi hectic anak makin enggak kondusif.

Belum lagi kalau urusan makan, suka pilih-pilih tanpa mau tahu masakan apa yang sudah disediakan di meja makan. Hemm, harus ekstra sabar ya kalau seperti ini.

Rebecca Schrag Hershberg Ph.D., psikolog klinis yang juga parenting coach, memiliki pengalaman serupa. Putranya yang berusia 5 tahun hanya mau sarapan dengan bagel dan selai cokelat hazelnut. Ia sudah setengah jam mengatakan tidak kepada putranya karena ingin anaknya itu sarapan yang lebih sehat. 

Menawarkan sarapan ini awalnya juga karena untuk rehat sejenak dari keributan sebelumnya, akibat tak mau mengenakan kemeja yang malamnya sudah dipilihnya, tapi sang putra berubah pikiran.

Setelah kehebohan tersebut akhirnya Hershberg mengalah. Ia memberikan roti bagel sesuai keinginan putranya.

"Oke,” kataku.  “Satu bagel Nutella akan datang. Tapi tahu enggak mengapa saya berubah pikiran? " tanya Hershberg kala itu ke putranya.


Pertanyaan itu memang sengaja Hershberg ajukan ke anaknya dengan tujuan untuk memperjelas bahwa keputusan dirinya itu didasarkan pada evaluasi ulang dari dirinya sendiri terhadap situasi, bukan pada perilaku putranya.

Sang putranya kemudian, kata Hershberg, balik bertanya,"Karena aku terus merengek?," sambil memasang wajah ingin tahu jawaban dari ibunya.

"Saya tertawa karena dia pintar, tetapi juga karena dia benar.  Setidaknya sebagian," jelasnya.

Menurutnya, meskipun sebagai orang tua sudah terlatih melihat perilaku anak-anak, teori yang menyatakan bahwa perilaku meningkat atau menurun itu tergantung pada konsekuensi yang mengikutinya, sayangnya seringkali tidak sesederhana itu.  Ada begitu banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam pengasuhan harian orang tua dikutip Psychology Today berikut ini:

1. Hirarki Maslow

Dalam teori Maslow dijelaskan bahwa manusia dimotivasi oleh serangkaian kebutuhan yang berjenjang, yang dasarnya harus dipenuhi sebelum perhatian dialihkan ke yang berikutnya.

Hershberg mencontohkan, ketika ia memilih lebih menggoreng ikan saat itu ketimbang mengkhawatirkan putranya merengek lagi keesokan paginya dan pagi-pagi seterusnya hanya karena ingin sarapan bagel selai cokelat.

"Tidak usah malu dengan mendahulukan hal-hal yang memberikan lebih banyak kebaikan," ujarnya

2. Manusia tidak dimotivasi penghargaan dan konsekuensi saja

Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa kita sangat termotivasi dengan hubungan antarpribadi, terutama untuk anak-anak.  Tidak diragukan lagi, dengan melihat hubungan orang tua-anak secara umum, kemampuan orang tua untuk memberikan batasan yang jelas dan kuat sangat penting untuk hubungan orang tua-anak yang kuat.

"Namun, ketika menyangkut keadaan tertentu, dan dalam konteks faktor-faktor lain yang berperan saat ini, mungkin ada saatnya masuk akal untuk membiarkan hal-hal berlalu begitu saja," sambung Hershberg.

Kembali lagi ke contoh dirinya dan putranya.  Saat itu baru jam 7:45 pagi, dan ia merasa frustrasi dan tidak sabar dengan putranya. Anaknya sepertinya juga salah paham dan tidak terbantu.

"Saya tahu jika saya memberinya bagel selai cokelat, kami akan bisa duduk dan terhubung beberapa menit, untuk mengatur ulang dan memperbaiki masalah yang terjadi.

3. Anak-anak "terjebak" 

Anak terjebak pada serangkaian emosi, tindakan, atau pikiran tertentu, terutama ketika mereka merasa kewalahan atau cemas.

"Anak laki-laki saya gigih untuk mendapatkan bagel Nutella, sebelum itu dia mantap dengan  apa yang akan dikenakan.  Dia jelas mengalami pagi yang 'macet', dan, sekali lagi, prioritas yang lebih penting membantunya 'melepaskan' dan lebih relevan ketimbang memperparah rengekannya," pungkas Hersbhberg.

Berbicara tentang emosi anak, Katherine Reynolds Lewis, penulis buku The Good News About Bad Behavior menjelaskan bahwa kemarahan, air mata, dan emosi lainnya merupakan bagian alami dari perkembangan anak. Biasanya disebut sebagai kekacauan masa kecil. Tetapi, sebagian orang tua tidak mampu dan tidak mengerti fase 'kekacauan' yang dihadapi anak-anaknya. Mereka malah memandang ledakan kemarahan anak-anak, sebagai masalah yang harus segera diselesaikan.

Sementara itu, Dr Dan Siegel, penulis buku The Yes Brain, mengatakan orang tua memang berperan besar dalam membentuk kematangan emosional sang anak. Orang tua yang memiliki tingkat emosi stabil, akan diikuti oleh anak-anak. Mereka akan menerapkan hal yang sama dalam hidupnya. Ingat, Bun, anak-anak adalah peniru sejati terhadap apa yang dilakukan orang tuanya.


"Ketahanan orang tua berfungsi sebagai tempat bagi anak-anak untuk melihat bagaimana dia menghadapi tantangan dan bagaimana memahami emosi mereka sendiri," kata Siegel, seperti dikutip dari laman NYTimes.

Bunda, simak yuk cara kreatif Atiqah Hasiholan bikin anak betah di rumah dalam video berikut:

[Gambas:Video Haibunda]



Chow Yun Fat dan istri
(rap/rap)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda