Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

cerita-bunda

Aku Syok! Ipar Pinjamkan Uang Tapi Pada Akhirnya Jadi Alat Merendahkan

Sahabat HaiBunda   |   HaiBunda

Jumat, 12 Nov 2021 17:00 WIB

Ilustrasi wanita sedih
Ilustrasi/Foto: Getty Images/iStockphoto/gahsoon

Cerita ya, Bun. Sebelum menikah, saya menempuh pendidikan sampai Magister di salah satu kota pulau Sumatera. Selama menempuh pendidikan, saya tercukupi secara materi, baik dari orang tua ataupun dari penghasilan saya sendiri.

Saya dijodohkan dan saya menikah pada saat memasuki semester tiga program Magister. Sebulan setelah menikah suami, saya harus balik ke Jakarta karena memang usaha di kota ini. Sekarang suami pulang sekali dalam 6 bulan dan saya hamil.

Saat hamil ini, dengan segala ceritanya, saya menyelesaikan pendidikan ini. Kemudian saya memutuskan melahirkan anak pertama saya di Ibu Kota dengan harapan mendapat kehidupan yang lebih baik jika dekat dengan suami.

Banner Tips Merawat Tanaman Hias IndoorFoto: HaiBunda/Mia

Tapi, saat itu Tuhan benar-benar menguji kami dengan kekurangan dari segala aspek kehidupan, terutama finansial. Bahkan saat anak pertama lahir, kami tidak punya uang. Sebelum kelahiran anak kami pun, suami hanya punya uang Rp20 ribuan.

Sakit, sedih, bahagia bercampur waktu itu. Untuk biaya persalinan, suami meminjam uang pada mertua saya. Waktu itu biaya persalinan Rp2,4 juta. Suami meminjam Rp2 juta dari Ibunya. Namun, entah mengapa saat itu, saya merasa mertua saya tidak merasa kasihan kepada kami.

Padahal dari segi ekonomi, dia sangat mampu memberi sampai Rp10 juta pun. Tapi saya mencoba berpositif thinking karena kami memang tidak pernah meminta bantuan pada siapapun. Alhamdulillah, waktu itu ibu kandung saya bisa datang ke Jakarta untuk membantu persalinan.

Kala itu keluarga saya pun tengah diguncang kesulitan ekonomi. Kakak saya yang tertua juga dapat penyakit buta dan uang pun habis terkurang untuk biaya pengobatan. Singkatnya, suami meminjam uang Rp250 ribu untuk membeli perlengkapan baju bayi dari kakak ipar sepupu saya.

Uang segitu cuma mampu membeli separuh perlengkapan bayi. Dan, anak saya harus memakai baju dari anak kakak sepupu saya. Tiap hari saya menangis, melihat anak pertama saya harus memakai baju bekas orang lain. Dan, satu lagi untuk kebutuhan pakaian persalinan saya juga meminjam dari kakak ipar sepupu saya. Kalau ingat ini, saya sedih sekali!

Sebulan setelah persalinan, Ibu harus pulang karena kakak saya juga butuh perawatan. Tinggal saya berdua mengurus anak saya. Itu masa yang paling sulit dalam hidup saya. Suami saya dagangannya sepi dan anak saya pun selalu menangis.

Semua pekerjaan rumah saya kerjakan, saya harus menahan selera makan karena memikirkan uang untuk keperluan rumah. Bersyukurnya Allah SWT Maha Pengasih dan Penyayang, walau saya makan tidak mencukupi gizi untuk kebutuhan ASI, Alhamdulillah ASI saya melimpah.

Sampai pada suatu saat, ini puncak kesedihan saya, waktu itu kakak ipar saya marah besar sama karena saya tidak mau menuruti keinginannya. Dia menyuruh agar anak saya dibawa ke pijit bayi karena selalu menangis.

Karena tidak sesuai dengan prinsip saya, saya tolak. Dia benar-benar marah sama saya, saya dibentak-bentak. Waktu itu ada suami saya di rumah. Suami tidak berani menolong istrinya. Dia tidak berbuat apapun, hanya diam di kamar ketika saya dibentak-bentak orang lain. Sampai sekarang sakitnya masih terasa. Karena orang tua saya pun tidak pernah membentak saya seperti itu.

Lalu semua ini pun akhirnya berdampak pada Si Kecil, Bun. Llihat bagaimana akhirnya saya bersedih berlebihan di HALAMAN SELANJUTNYA.


Kenapa Ipar Jadi Merendahkan Kami?

Frustrated young lady sitting on sofa, cuddling pillow, looking away at window. Lost in thoughts unhappy stressed millennial woman regretting of wrong decision, spending time alone in living room.

Ilustrasi/Foto: Getty Images/iStockphoto/fizkes

Saya menangis diam-diam ketika malam. Saya kecewa dengan orang-orang di sekitar saya. Dengan keadaan seperti itu, saya cenderung mendiamkan anak bayi saya ketika dia menangis. Saya juga sering menangis di awal kelahiran bayi gara-gara ini. Ketidakmampuan secara ekonomi ini memperburuk jiwa saya.

Sampai usia anak tiga bulan, saya sering menangis sendirian karena persoalan ini. Jiwa saya benar-benar terguncang. Saya sudah ceritakan kepada suami saya. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak. Dia selalu menuruti kata-kata kakak ipar sepupu saya tersebut karena banyak utang padanya.

Saya benar-benar gelisah setelah kejadian itu. Untuk melihat rumahnya pun saya takut, melewati rumahnya pun saya takut. Sampai sekarang lukanya masih terasa, Bun. Sejak saat itu hubungan saya hanya baik di luar dengannya. Saya berusaha baik, tapi jiwa saya tidak.

Kehidupan rumah tangga kami hambar. Saya banyak diam dengan suami saya. Begitu sulit bagi saya melupakan hal ini. Ini merupakan pelajaran bagi saya untuk tidak terlalu mudah menerima kebaikan orang lain. Terlebih keluarga sendiri karena pemberian ini merupakan alat untuk merendahkan, menghina orang yang ditolong.

Singkat cerita, Bun perlakuan orang lain juga mampu memberikan dampak buruk bagi kita, dalam rumah tangga, dalam mengasuh anak kita. Karena jiwa yang terguncang, anak jadi korban.

Kasihan anak saya, anak kita. Saya benar-benar berjanji tidak dengan mudah menerima bantuan dari keluarga sendiri. Saya trauma karena itu. Untuk itu saya harus mandiri, saya harus berjuang untuk anak saya.

(Cerita Bunda AS, tidak memberikan lokasi)

Mau berbagi cerita, Bunda? Share yuk ke kami dengan mengirimkan Cerita Bunda ke [email protected] yang ceritanya terpilih untuk ditayangkan, akan mendapat hadiah menarik dari kami.


(ziz/ziz)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda