cerita-bunda
Saat Bu Dokter Spesialis Anak Malah Jadi Pelaku Mom-Shaming, Rasanya....
Jumat, 10 Dec 2021 16:50 WIB
Kisah ini terjadi saat putri kami berusia 8 bulan. Saat itu, kami sekeluarga baru saja pulang liburan dari Bali dan sesampainya di Yogyakarta, putriku mengalami demam dan tidak nafsu makan.
Sebagai ibu baru, aku merasa panik dan bingung karena selama ini putriku belum pernah sekalipun demam ataupun batuk pilek. Jadi rasanya wajar bila sakit yang dideritanya membuatku kalut. Karena aku ingin segera memberikan pertolongan padanya, maka aku terpikir untuk mendaftarkan pengobatan ke dokter spesialis anak di dekat rumah.
Ini adalah pertama kalinya kami ke sana dengan dokter yang aku ketahui berstatus pegawai negeri di rumah sakit daerah. Aku sebelumnya sudah menelusuri dokter ini via Google dan memiliki track record yang baik.
Aku gugling dokter ini dahulu karena biasanya aku dan suamiku mendatangi rumah sakit yang lumayan jauh dari rumah dan dengan Dokter Spesialis Anak (DSA) yang biasa menangani putri kami. Namun kebetulan hari itu, bukanlah hari praktek DSA langganan kami, sehingga kami sudah tidak berpikir panjang lagi.
Sore itu, kami mendatangi rumah praktek dokter yang tidak jauh dari rumah lebih awal dari jam buka dengan harapan mendapat nomor antrian lebih awal. Tapi kami sudah harus mengantri sekitar lima pasien karena mereka sudah mendaftar lebih dulu dan merupakan pasien lama.
Kami mengantri dengan sabar dan ketika Maghrib tiba, dokter mengambil jeda untuk melaksanakan sholat. Namun, sudah satu jam dokter tersebut tidak segera muncul ke ruang periksa. Ternyata dokter tadi mengaku ketiduran dengan alasan capek bekerja seharian dan menguji mahasiswa. Aku dan pasien lain tidak bisa protes atau berbuat banyak karena saat itu kami membutuhkannya.
Sebelum tiba giliranku, ada proses pengecekan pasien yang akan diperiksa. Seperti tinggi dan berat badan, suhu badan. Aku berpikir prosedur ini tidak dibuat sulit seperti yang sudah biasa aku lihat di rumah sakit langganan, tapi aku salah ternyata.
Di dokter praktek ini jauh berbeda prosedurnya. Putriku yang dalam keadaan demam harus dilepas bajunya hanya untuk ditimbang. Biasanya bisa langsung ditimbang dengan dikurangi 100gr untuk asumsi berat baju dan popoknya. Karuan saja dia menangis meraung.
Terlebih lagi ketika cek suhu, dokter tersebut masih menggunakan termometer manual yang harus diapitkan pada ketiak. Ini membuatnya tangisnya tidak mereda. Aku bingung dan tidak tega melihatnya seperti tersiksa, lalu kulepas termometernya karena aku yang disuruh mengecek suhu tubuh anakku oleh petugas.
Saat itu Bu Dokter melihatku dan langsung mengomentari,"Ibunya kurang gigih." Komentar itu masih terngiang hingga sekarang. Saat mendengarnya, perasaanku berkecamuk tidak karuan tapi aku berusaha menahan agar emosiku stabil.
Setelah dokter selesai memeriksa putriku, aku dan suami duduk mendengarkan diagnosanya. Tetapi lagi-lagi bukan diagnosa yg disampaikan oleh dokter melainkan kata-kata yg menusuk hati. Memang saat itu putriku termasuk kurus untuk bayi seusianya karena aksi gerakan tutup mulut setiap waktu makan dan aku masih hanya mengandalkan ASI.
Sudah berbagai cara dan resep MPASI kucoba agar makannya lahap, namun seperti nihil. Putriku tetap susah makan, bahkan aku sudah membawanya terapi agar dia mau mengunyah. Tetap saja setiap kali makan, dia tidak mau mengunyah, sehingga makan hanya porsi sedikit dengan waktu yang sudah dibatasi.
Melihat kondisi putriku yang kurus dan susah makan, Bu Dokter itu menceramahiku, "Jadi wanita itu tidak usah punya cita-cita yang terlalu tinggi, menjadi ibu rumah tangga saja sudah sulit."
Sungguh, aku masih belum bisa melupakan kata-kata dokter itu sampai hampir empat tahun berselang sejak saat itu. Aku mencoba tegar ketika mendengar kata-kata yg dilontarkannya, namun akhirnya aku tak kuasa menahan tangis ketika perjalanan pulang.
Air mataku tumpah di dalam mobil. Suamiku berusaha menguatkanku, tapi hatiku sudah terlanjur hancur. Aku kapok dan tidak akan mendatangi rumah praktek dokter spesialis anak itu lagi. Saat itu, aku merasa hancur berkeping-keping melihat anakku sakit dan komentar pedas dokter yang baru sekali saja memeriksa anakku. Aku sudah memaafkan dokter itu, namun masih sulit bagiku melupakan verbal abuse yang dilontarkannya padaku. Forgiven not forgotten.
(Bunda Titi, bukan nama sebenarnya. Yogyakarta)
Mau berbagi cerita, Bunda? Share yuk ke kami dengan mengirimkan Cerita Bunda [email protected] ceritanya terpilih untuk ditayangkan, akan mendapat hadiah menarik dari kami.
Simak juga video berikut mengenai Marissa Nasution yang melawan mom shaming di dunia maya dengan gigihnya.
(ziz/ziz)