
kehamilan
Dokter Asal Bali Cerita Rasanya Melahirkan di Swedia, USG 2 Kali & Tak Ada Kamar VIP
HaiBunda
Selasa, 16 Nov 2021 13:10 WIB

Seperti apa rasanya melahirkan di tanah perantauan? Putu Ayuwidia Ekaputri, seorang dokter asal Bali, Indonesia, berbagi pengalamannya ketika melahirkan di Swedia. Widia, sapaan akrabnya, kini tinggal di Gothenburg, Swedia bersama suami dan anaknya.
Sebelum ceritakan pengalaman melahirkannya di sana, Widia menjelaskan lebih dahulu bagaimana sistem kesehatan di Swedia. Ternyata, sistemnya hampir sama seperti di Indonesia dengan sistem BPJS-nya, Bunda.
"Tapi bedanya, kalau BPJS kan kita bayar premi ya, sedangkan di Swedia kita enggak perlu bayar premi tapi sudah ditanggung dengan bayar pajak," ujar Widia kepada HaiBunda via Zoom, baru-baru ini.
Pajak di Swedia pun cukup besar, bahkan melebih gaji, lho. Minimum pajak yang bakal dipungut sekitar 33 persen dari penghasilan. Namun, pada umumnya, orang Swedia membayar pajak hingga 55 persen. Iya, lebih banyak dibanding gajinya dan akan naik seiring peningkatan gaji nantinya.
"Lalu, kalau layanan kesehatan di Indonesia pemerintah sama swasta 50:50 mungkin ya. Tapi kalau di Swedia, ditanggung oleh swasta 5-10 persen, jadi semuanya rumah sakit negeri," kata Widia.
"Jadi begitu hamil, kita harus ikuti aturan di sana, kalau di Indonesia enggak mau BPJS kan ya sudah swasta saja. Tapi kalau di Swedia enggak ada pilihan itu karena enggak ada."
![]() |
Kalaupun ingin swasta, kata Widia, bakal menguras dompet, Bunda. Bayangkan, biaya USG saja sekitar Rp3 juta.
"Jadi kita semua harus ikuti 'BPJS', kita ikuti ke Faskes 1 yaitu puskesmas, di sini sih namanya Narhalsan, sejenis puskesmas," ujarnya.
Menurut pengalaman Widia yang ikuti aturan pemerintah, setiap ibu hamil di sana, ditangani oleh bidan, bukan dokter kandungan. "Aku ketemunya sama bidan bukan Sp.OG. Karena ini memang sesuatu hal yang benar ya, ketika kita sehat, memang yang punya tanggung jawab itu adalah bidan," ujar Widia.
"Di Indonesia pun sama, cuma karena orang menurutku karena mungkin ya.. bidannya tidak setara pendidikannya, kadang orang terasa tidak percaya," tuturnya,
Di Swedia, semuanya pemeriksaan ibu hamil dilaksanakan oleh bidan. Kurang lebih setiap bulan, akan ada pertemuan dengan bidan. Nah, bagian enaknya, menurut Widia, karena di faskes, ia tak harus pilih bidan seperti memilih dokter kandungan di Indonesia.
"Karena lihat di aplikasi, oh aku faskes di sini, didaftarin sama bidan sana ya sudah. Tapi itu berlaku kalau pendidikan mereka setara, tapi memang (di sini) pendidikan satu sama lain enggak terlalu beda," ungkap Widia.
"Dan mereka sangat profesional, tidak judgemental, enaknya di bidan, sekali pertemuan itu panjang, 30 menit. Pertemuan pertama itu aku satu jam, semua dibahas enak ya?"
Tak cuma itu, Widia juga mengungkap aturan USGÂ sesuai 'BPJS' Swedia adalah sebanyak dua kali saja. Kok bisa? Baca ceritanya di halaman berikut.
Simak juga daftar barang yang wajib dibawa ke RS jelang persalinan:
DI SWEDIA, USG CUMA 2 KALI
Putu Ayuwidia Ekasari, diaspora Indonesia di Swedia/ Foto: Instagram @diadiawidia
Satu hal yang membuat Widia merasa sedikit janggal adalah aturan USG di sana, Bunda. Di Swedia, USG hanya dua kali jika pasien ingin mengikuti sistem 'BPJS' pemerintah sana.
"Cuma enggak enaknya, karena sistemnya kayak BPJS, kita cuma USG dua kali. Pertama di usia 13 minggu, kedua sama 20 minggu. Tapi sekalinya USG itu satu jam, dicek benar-benar," katanya,
Namun, justru dengan pemeriksaan kehamilan yang enggak ribet, Widya merasa mudah cemas. Ini lantaran dirinya seorang dokter, ia pun sempat merasa tak aman dengan peraturan USG hanya dua kali itu.
"Ini misalnya terlilit tali pusat bagaimana ya, tapi itu menurutku berbeda ya tiap orang. Kayak temanku, dibandingkan hamil di Indonesia, dia lebih senang hamil di sini (Swedia)," kata Widia.
"Sedangkan aku karena background-nya dokter, dahulu kan koas ya di RSCM, jadi hamil tahunya yang aneh-aneh semua. Ini jangan-jangan hamil anggur, kok muntah berlebih? Tapi enggak bisa USG. Itu bikin aku gelisah," ungkap wanita berdarah Bali ini.
Sampai akhirnya, ada satu perkataan bidan di Swedia yang membuatnya percaya dengan sistem yang berlaku di sana. Perkataan bidannya bikin adem, Bunda.
"'Bagus kamu jadi dokter, kamu tahu banyak hal, kamu prepare segala hal. Tapi ada masanya kamu harus enjoy momen sebagai ibu'. Setelah itu aku baru tersadar, buat apa aku stres," ujar Widia.
Widia juga ungkap bahwa di Swedia, ibu hamil tak diberi vitamin. Yang diberikan, hanya asam folat. Kalau pun diberikan asupan tambahan, tenaga kesehatan akan melihat dari hasil pemeriksaan lab-nya.
"Tapi sebenarnya ini beda-beda ya. Karena pola hidup di Swedia, makannya lebih bagus, sehat. Jadi aku enggak ambil vitamin. Ada di susu keju, ngapain ambil kalsium. Ada daging, ngapain kita makan zat besi," kata Widia menjelaskan.
"Aku enggak bilang ke Indonesia lebih buruk atau enggak, karena situasinya secara umum seperti itu. Di Indonesia ibu hamilnya, mereka sedentary lifestyle. Kalau di Swedia orang hamil masih naik sepeda. Masih yoga, gerak enggak karuan. Ketika hamil, aku ngelihat orang Swedia yang gede perutnya doang, jadi aku berusaha makan sehat."
Selain masalah USG dan urusan suplemen yang diberikan, Widia juga berbagi bahwa di Swedia tak ada kamar VIP untuk pasien melahirkan. Baca kelanjutannya di halaman berikut.
TAK ADA KAMAR VIP
Putu Ayuwidia Ekasari, diaspora Indonesia di Swedia/ Foto: Instagram @diadiawidia
Yang menarik lagi, tidak ada istilah kamar VIP, VVIP di Swedia. Semuanya sama, Bunda. Kata Widia, ini menjadi suatu hal positif, mengingat kebutuhan ibu melahirkan itu sama.
"Aku follow influencer di Swedia, orang kaya, tidak seperti Ratu, benar-benar di kamar sama. Mungkin beda cerita lagi kalau kerajaan, itu lebih ke penjagaannya," ujar Widia.
Masalah biaya melahirkan, karena semuanya ditanggung lewat pajak, biaya pemeriksaan kehamilan itu gratis sampai lahiran, Bunda.
"Cuma nanti pas lahiran ada biaya kamar. Ini lucu nih, aku lahiran enggak perlu biaya kamar, tapi suamiku yang ikut nginap di ruang yang sama, suamiku bayar. Total-total sekitar Rp1,6 juta, dibandingkan penghasilan orang Swedia, itu sangat kecil," ungkap Widia.
Terlepas dari biaya-biaya dan tak ada kategori kamar, satu hal yang diingat Widia adalah bahwa bidan di Swedia sangat mengutamakan lahiran secara normal.
Semua persalinan pun dilakukan di rumah sakit, sehingga jika ada masalah, bidannya langsung bisa berkonsultasi dengan SpOG-nya, Bunda.
"Kebetulan aku ada sedikit masalah, agak lama persalinannya. Jadi ketika dibutuhkan mereka sudah siap operasi dan SC. Aku waktu itu perdarahan postpartum, lima menit sudah masuk ke ruang operasi."
Satu hal lagi yang bikin Widia kagum adalah satu bidan bisa menangani satu sampai dua ibu hamil saja. Menurutnya, ini mungkin faktor jumlah pasien saja, Bunda. Karena, jumlah penduduk Swedia itu kurang lebih sama dengan penduduk Jakarta.
ARTIKEL TERKAIT

Kehamilan
Putri Sofia dari Swedia Enggan Rayakan Ultah Ke-40 saat Hamil Anak Keempat, Alasannya...

Kehamilan
Cerita Wanita RI Melahirkan di Australia, Gratis & Malah Dapat Bonus Rp55 Juta

Kehamilan
Wanita Banyuwangi Lahiran di Swedia, Dapat Cuti 1 Tahun & Tunjangan Ratusan Juta

Kehamilan
Pengalaman Dokter asal Bali Melahirkan di Swedia, Biaya Persalinan Gratis Tapi..

Kehamilan
Kisah Dokter asal Bali Tinggal di Swedia saat Hamil, Naik Kereta PP 150 Km Tiap Hari


7 Foto
Kehamilan
7 Potret Detik-detik Uut Permatasari Melahirkan di Usia 40 Thn, Awalnya Ingin Lahiran Normal
HIGHLIGHT
HAIBUNDA STORIES
REKOMENDASI PRODUK
INFOGRAFIS
KOMIK BUNDA
FOTO
Fase Bunda