Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

cerita-bunda

Kakak Ajak Pindah Kota Bersamanya, Sampai di Sana Kami Malah Melarat

ziz   |   HaiBunda

Jumat, 27 Aug 2021 18:05 WIB

Ilustrasi perempuan marah
Ilustrasi perempuan sedih/Foto: Getty Images/iStockphoto/bunditinay

Saya dan suami memang tidak punya kerja pasti. Dari dulu, dari sebelum nikah, kami berdua mengajar.

Suami dulu waktu masih lajang jadi guru bahasa Arab dan Inggris. Sedangkan saya jadi guru jahit di kampung. Saat dia sudah mulai stabil, barulah aku diboyongnya ke Jakarta dan kami menetap di Jakarta Timur.

Sesudah punya anak pertama, ada saudara kami yang minta agar kami menempati rumahnya yang kosong. Masih di wilayah Jaktim juga, hanya beda kecamatan aja. Di rumah ini rezeki kami lumayan karena 'kan enggak harus bayar kontrakan.

Perkembangan Janin Usia 2 BulanFoto: Mia Kurnia Sari

Anak pertama kami pun sekolah lancar, enggak perlu keluar biaya. Untuk biaya bulanan malah kadang kami dapat uang perawatan dari empunya rumah. Jadi bener-bener lumayan saat itu.

Nah, saat saudara jauh ini mulai sakit-sakitan, anak-anak mereka mulai keberatan kami tinggal di rumah itu. Akhirnya saya dan suami cari kontrakan baru.

Di sinilah ekonomi kami mulai pontang-panting. Dari uang mengajar dan dagang di rumah sebelumnya, kami bisa ngontrak rumah yang sekalian bisa jadi toko.

Masalahnya lagi di sekitar rumah kontrakan ini banyak banget warung yang sama, Bun. Keunggulan kami cuma di malam hari karena banyak anak nongkrong yang beli rokok. Suami begadang sampai jam 1.00 malam asal dagangan kami laku.

Tahu kondisi kami kayak begini, kakak kandung saya di kampung ngasih solusi: pindah ke kampung lagi aja. Dia bilang akan bantu semua yang kami butuhkan. Asalkan kami cari rumah sendiri.

Tapi ternyata ajakan itu malah berujung enggak baik untuk kami. Lihat di HALAMAN SELANJUTNYA, Bun.

Simak juga video berikut mengenai kisah pasangan muda, Natta Reza dan Wardah Maulina, yang sempat hidup susah di tahun pertama pernikahan. 


Janji Kakak Itu Kosong Belaka

Ilustrasi perempuan marah

Ilustrasi/Foto: Getty Images/iStockphoto/Panupong Piewkleng

Ajakan kakak saya itu awalnya saya kira basa-basi. Tapi lama-kelamaan setiap kali nelpon saya, dia katakan hal yang sama.

Akhirnya saya dan suami memikirkan hal itu dengan serius. Kami hitung-hitung biaya perjalanan dari hasil penjualan barang di rumah, hmmm sepertinya cukup. Maka di pertengahan tahun itu jadilah kami semua pindah ke kampung.

Tapi ternyata kakak saya itu malah bikin kami tambah susah, Bun. Sampai di sana ternyata enggak sekali pun dia datang berkunjung untuk tahu keadaan kami. Padahal kami sudah enggak punya barang-barang lagi.

Kayak kasur dan tempat tidur, lemari, sudah semua kami jual untuk ongkos pulang kampung. Dagangan kami enggak laku karena di daerah situ baru laku jika jualan minuman keras. Belum lagi anak-anak rewel dengan budaya yang berbeda dari di Jakarta.

Saya dan suami benar-benar diuji, Bun. Kami melarat sampai rasanya mau nangis liat centong nasi.

Saya sudah coba telepon kakak saya untuk ngasih tau keadaan kami. Tapi dia cuma bilang,”Oh, bagus deh udah pulang ke sini. Sehat terus ya, salam buat anak-anak.”

Janji kakak saya ternyata kosong. Saya juga enggak mungkin ngadu sama Ibu kami karena Beliau sudah terlalu linglung enggak mengerti keadaan sekitar.

Ya sudah, kami telan keadaan itu dan balik nabung sedikit demi sedikit. Hasilnya ongkos cukup untuk pulang ke Jakarta. Enggak lagi saya percaya janji manis meski itu dari keluarga sendiri. 

(Cerita Bunda C, Jaktim)

Mau berbagi cerita, Bunda? Share yuk ke kami dengan mengirimkan Cerita Bunda ke [email protected] yang ceritanya terpilih untuk ditayangkan, akan mendapat hadiah menarik dari kami.


(ziz/ziz)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda