
parenting
Pola Makan Saat Bayi Pengaruhi Kebiasaan Ketika Dewasa
HaiBunda
Selasa, 03 Nov 2020 08:45 WIB

Bunda mungkin sering mendengar bahwa kebiasaan makan bayi berpengaruh di masa dewasanya. Hal itu benar adanya, Bunda, karena kunci pola makan sehat orang dewasa sangat dipengaruhi dengan pola mengonsumsi makanan yang sehat di masa awal-awal kehidupannya dahulu.
Bukti penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan makan anak-anak itu mempengaruhi pola makan dan kesehatan di kemudian hari.
“Pola penerimaan makanan saat masih kecil ini menjadi dasar untuk seumur hidup,” kata Susan Johnson, seorang profesor pediatri dan direktur Children’s Eating Laboratory di University of Colorado’s Anschutz Medical Campus in Aurora, dikutip Wall Street Journal.
Menurut Johnson, paparan rasa di awal kehidupan anak-anak itu tampaknya bertahan untuk jangka panjang. Anak-anak akan menyukai makanan yang dikenalnya di awal pemberian makanan padat dan berlanjut hingga dewasa.
Johnson mengatakan, dengan meningkatnya obesitas pada masa anak-anak dan berkembangnya anggapan bahwa penyakit saat dewasa seperti diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular ditanam pada masa kanak-kanak, membuat orang tertarik untuk membentuk minat makan sehat sejak kecil
Johnson dan rekannya melakukan penelitian dan menemukan bahwa ada masa kritis anak mudah menerima makanan baru, termasuk rasa pahit itu sekitar usia 6 hingga 12 bulan, Bunda.
Namun, para ilmuwan juga menemukan pengaruh makanan ini juga bisa lebih awal ketika dalam kandungan atau semasa menyusui.
“Bayi terpapar rasa makanan dalam makanan ibu mereka dalam rahim melalui cairan ketuban dan kemudian melalui ASI,” ujar Johnson.
Johnson juga melakukan penelitian, yang tidak dipublikasikan, yakni 106 bayi dan balita ditawari bubur kangkung oleh pengasuhnya, dan 94 persen di antaranya dengan ibu mereka. Bayi yang berusia sekitar 6 hingga 12 bulan cenderung memakan kangkung, meski banyak yang wajahnya terlihat tidak suka.
“Bahkan jika anak-anak menunjukkan tanda-tanda visual yang tidak menyukainya, ketika ibu menyendokkan makanan, mereka membuka mulut dan melakukan gigitan berikutnya,” kata Johnson.
Tetapi balita yang berusia sekitar 1 tahun ke atas cenderung tidak makan kangkung.
“Mungkin periode itu adalah jendela kritis untuk memperkenalkan makanan yang lebih sulit disukai sebelum perilaku menolak menjadi sangat bermasalah di masa balita nanti,” sambung Johnson.
Untuk bayi dan balita, ada bukti yang menunjukkan bahwa paparan makanan baru yang berulang kali, termasuk sayuran, membuat balita lebih rela untuk memakannya.
Sebuah makalah ulasan yang diterbitkan dalam American Journal of Clinical Nutrition pada 2019 menemukan "bukti moderat" bahwa ketika anak-anak berusia 4 hingga 24 bulan mencicipi buah atau sayuran tertentu setiap hari selama antara delapan dan 10 hari atau lebih, mereka makan lebih banyak atau makan lebih cepat dari sebelum terpapar.
Ada juga beberapa bukti bahwa penerimaan ini bisa digeneralisasikan ke jenis makanan yang serupa, misalnya dari kacang hijau hingga kacang polong.
Catherine Forestell, seorang profesor ilmu psikologis di William & Mary di Williamsburg 9 (Va), mendorong para orang tua untuk tetap menawarkan makanan meskipun bayi menunjukkan wajah negatif saat mencobanya. Tapi, jangan sampai memaksa bayi untuk makan.
Selain itu, lakukan variasi, kata Forestell. Dengan cara ini bayi akan lebih mau menerima makanan baru karena mereka tidak mudah mencampakkan rasa baru.
Sementara itu Julie Mennella, seorang ahli biologi di Monell Chemical Senses Center, sebuah lembaga penelitian nirlaba di Philadelphia, menjelaskan bayi dipersiapkan untuk menyukai rasa manis.
“Manis adalah sinyal kita untuk kalori, yang dibutuhkan anak-anak yang sedang tumbuh,” katanya, sambil memperhatikan bahwa ASI itu manis.
Namun, hal ini yang membuat anak kecil sangat rentan terhadap makanan dengan tambahan gula.
“Makan makanan dengan tambahan gula dapat membuat bayi "mengembangkan preferensi manis",” catat Steven Abrams, profesor pediatri di Dell Medical School di University of Texas di Austin dan ketua komite nutrisi American Academy of Pediatrics.
Menurut data yang dianalisis komite, sebanyak 63 persen bayi berusia 6 hingga 12 bulan mengonsumsi gula tambahan pada hari tertentu. Balita usia 12 hingga 24 bulan makan sekitar enam sendok teh gula tambahan per hari. Sisanya, sekitar 29 persen di antaranya mengonsumsi minuman yang dimaniskan dengan gula.
Studi menemukan bahwa anak-anak yang mengonsumsi minuman manis memiliki risiko lebih tinggi mengalami obesitas. Menurut data 2015-2016 dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, sekitar 19 persen dari usia 2 hingga 19 tahun mengalami obesitas. Itu naik dari 13,9 persen pada 1999-2000.
“Bayi yang kelebihan berat badan menjadi anak yang kelebihan berat badan, menjadi orang dewasa yang kelebihan berat badan,” kata Abrams.
Bunda, simak yuk risiko memberi makan anak sambil jalan-jalan dalam video di bawah ini:
TOPIK TERKAIT
ARTIKEL TERKAIT

Parenting
Bolehkah Balita Obesitas Menjalani Diet? Simak Penjelasan Dokter Bun

Parenting
5 Pertimbangan Penting Pilih Buku Anak, Judul hingga Bahasa

Parenting
5 Manfaat Baby Spa untuk Tumbuh Kembang Si Kecil

Parenting
Mengenal Fungal Acne pada Anak dan Cara Mengatasinya

Parenting
10 Pengobatan Alami untuk Mengatasi Demam Anak, Bunda Perlu Tahu


7 Foto
Parenting
7 Potret Gaya Artis Muda Gendong Bayi, dari Angel Pieters hingga Jessica Mila
HIGHLIGHT
HAIBUNDA STORIES
REKOMENDASI PRODUK
INFOGRAFIS
KOMIK BUNDA
FOTO
Fase Bunda