
parenting
Rahasia Mendidik Anak Tanpa Perlu Sering Memberi Larangan, Bunda Perlu Tahu
HaiBunda
Selasa, 29 Jun 2021 07:00 WIB


Mengasuh anak membutuhkan kesabaran para orang tua. Dalam hal ini, Ayah dan Bunda dituntut untuk bisa memahami anak tanpa mengurangi ketegasan dan kedisiplinan dalam mendidiknya.
Tapi pada faktanya, banyak Bunda yang mengaku kesulitan untuk mengontrol perilaku anak. Apakah Bunda salah satunya?
Ya, rasanya sangat sulit menahan diri untuk tidak melarang anak melakukan ini dan itu. Jika Bunda dihadapkan pada kebimbangan seperti ini, mari kita refleksikan kembali apa sih alasan Bunda mengeluarkan larangan.
Kenapa saya melarang?
Sebelum melarang, pahami dan tanyakan pada diri sendiri dulu yuk, "Mengapa saya mau melarang anak melakukan hal ini? Apakah risiko yang akan muncul jika saya mengizinkan anak saya tetap melakukan hal ini?"
Setelah berpikir tentang alasan dan risikonya, Bunda akan jauh lebih tenang menghadapi anak. Serta, akan memahami pula konsekuensi perilaku anak dengan lebih baik. Di sini, yang penting untuk diingat adalah memberi batasan dan menjelaskan mengenai konsekuensi atas perbuatan yang akan dilakukan anak-anak ya, Bunda.
Berbicara mengenai konsekuensi, Bunda bisa sekalian mengenalkan konsep sebab dan akibat dari sebuah perbuatan pada anak-anak. Jadi mereka akan mengenal apa sih itu konsekuensi, dan mengapa harus ada aturan 'iya' dan 'tidak'.
Saat anak memahami bahwa apa yang akan dilakukannya bisa menyebabkan risiko tertentu, maka Bunda tidak perlu lagi nih mengeluarkan kalimat larangan. Sebelum membahas lebih jauh, kita pahami juga yuk mengenai dua jenis konsekuensi, Bunda.
Konsekuensi natural dan konsekuensi logis
Konsekuensi natural bisa dijelaskan bahwa segala sesuatu kemungkinan besarnya akan terjadi akibat perbuatannya. Hal itu bisa dipahami dengan contoh berikut:
"Kalau kamu main pintu seperti itu, nanti tanganmu bisa terjepit." Atau, "Kalau kamu lari-lari di pinggir kolam, kamu bisa terpeleset."
Sedangkan konsekuensi logis, ada dampak yang mungkin terjadi dari perilaku yang dilakukan anak. Jadi, saat meminta anak untuk tidak melakukan sesuatu, anak bisa memahami alasannya terlebih dulu.
Contoh konsekuensi logis: "Kalau kamu tidak tidur sekarang, besok pagi kamu bisa kesiangan" atau "Kalau mainanmu tidak dirapikan, nanti bisa tercecer dan hilang."
Hindari memberi alasan yang tak logis
Saat Bunda akan menjelaskan sesuatu yang berupa larangan, sebaiknya tidak terjebak dalam memberi informasi dengan konsekuensi yang tidak logis. Banyak Bunda biasanya mengeluarkan alasan yang nggak masuk akal disertai dengan ancaman. Seperti apa contohnya?
"Dihabiskan dulu makannya, nanti nasinya nangis lho." Atau, "Kalau kamu berisik terus begini, nanti kamu disamperin Pak Satpam lho."
Benarkah Bunda dilarang mengucapkan kata jangan dan tidak bisa?
Selama ini, banyak orang tua yang bimbang dalam memilih bahasa. Tidak sedikit Bunda dan Ayah menghindari kata-kata jangan dan tidak saat memberi aturan pada buah hatinya.
Tapi, dalam dunia parenting sebenarnya kata 'Stop', 'Jangan', 'Tidak Bisa', atau 'Tidak Boleh' tetap boleh digunakan lho, Bunda. Perlu digarisbawahi bahwa kata-kata tersebut membantu anak bahwa ada batasan (limit/boundary) yang tegas dalam kehidupan sehari-harinya.
Sehingga, anak akan mengingat bahwa ada batasan yang nggak boleh dilanggar demi keamanan dan keselamatan mereka sendiri. Namun ingat ya, dalam mengatakan kata-kata di atas Bunda harus menjaga emosi tetap tenang dan disertai dengan empati.
Jangan lupa, sampaikan juga ke anak akan ada konsekuensi atas perilakunya. Sebagai gantinnya, beri alternatif untuk melakukan kegiatan lain. Alternatif perilaku ini akan membantu anak memahami batasan apa yang diharapkan atas dirinya.
Beberapa kondisi yang membuat kata 'jangan' dan 'tidak boleh' dapat Bunda gunakan misalnya, saat melihat Si Kecil akan melakukan sesuatu yang berpotensi membahayakan keselamatan dirinya dan orang lain.
Misalnya nih, Bunda, "Stop! Jangan lari ke jalan raya, banyak mobil. Main di sini saja ya." Dalam kalimat ini, Bunda melarang anak dan sekaligus memberikan alternatif lainnya.
Bisa kita sepakati bersama bahwa kata larangan di sini tidak selalu berimbas buruk. Tetap bisa digunakan di kesempatan dan waktu yang tepat.
Selanjutnya, kapan anak mulai tahu diberi aturan dan batasan? Simak di halaman selanjutnya!
Simak cara mendidik anak ala ibu Muady Ayunda dalam video di bawah ini:
USIA ANAK MULAI PAHAM DIBERI ATURAN
Cara melarang anak/ Foto: Getty Images/iStockphoto/fizkes
Usia anak sudah paham diberi batasan
Pada dasarnya, anak-anak sudah mengerti diajak komunikasi sejak masih bayi. Bahkan, anak sudah mulai bisa diajak untuk memahami batasan dan konsekuensi sejak usia 1 tahun. Jadi, meskipun anak belum bisa bicara dan menyampaikan jawaban mereka, sebenarnya sudah paham jika diberi larangan.
Seperti misalnya, saat anak mulai bisa berjalan mereka akan tertarik untuk memegang dan menghampiri apapun yang menarik perhatian mereka. Seperti kompor yang menyala atau menaiki tangga. Ketika Bunda melihat ada risiko bahaya di sekitarnya, bisa berbicara dengan lembut untuk melarangnya mendekat. Sertakan juga mengenai batasan dan konsekuensi di baliknya.
Penyebab anak senang melakukan hal-hal yang dilarang orang tua
Saat Si Kecil memasuki fase terrible two, maka akan semakin banyak emosi yang ditunjukkan. Termasuk mencoba hal baru, dan menunjukkan kemarahan saat dilarang melakukan sesuatu.
Bunda nggak perlu panik menghadapi perubahan anak pada fase ini. Pada usia 2-5 tahun, anak memang sedang dalam proses mengembangkan sense of autonomy dan sense of initiative.
Oleh sebab itu, anak di usia ini seringkali menolak permintaan orang tua atau bahkan melakukan hal yang dilarang oleh orang tua. Hal ini dilakukan karena mereka sedang menunjukkan bahwa dirinya memiliki 'will' sendiri, yang terlepas dari kemauan orang tua.
Di rentang usia ini, kondisi tersebut merupakan hal yang wajar. Kembali lagi, yang perlu anak pahami adalah konsekuensi dari perilakunya. Sehingga, berilah pengertian bahwa perilakunya dapat membawa konsekuensi natural ataupun konsekuensi logis.
Sikap orang tua saat anak berperilaku buruk
Sebagian orang tua akan marah saat melihat anaknya berperilaku buruk. Tapi, pernahkah Bunda memahami terlebih dulu alasan mengapa
anak melakukan hal itu?
Ingat ya, Bunda, ada alasan di balik setiap perbuatan anak termasuk saat ia melakukan perbuatan yang dianggap buruk atau salah. Untuk mengubahnya, kita juga butuh tahu alasan di baliknya lho.
Biasanya akan ada penyebabnya yaitu, fisiologis dan psikologis. Berikut penjelasannya:
Penyebab Fisiologis
1. Apakah anak sudah cukup makan dan minum
Misal: anak tantrum dan berteriak-teriak di acara keluarga, ternyata penyebabnya ia lapar karena belum makan atau haus.
2. Apakah anak sudah cukup istirahat Misal: anak menangis sambil memukul-mukul tubuh ayah atau Bunda, ternyata dia melakukan hal itu karena mengantuk.
3. Apakah anak sensory overload
Misal: anak lari-lari di mal karena terlalu banyak stimulus visual dan auditory saat itu.
4. Apakah anak sudah memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan kebutuhannya
Misal: anak melempar-lempar mainan yang ditawarkan, karena bukan itu mainan yang ia inginkan tetapi ia belum bisa menyampaikannya karena keterbatasan kosakata yang belum dia kuasai.
Penyebab Psikologis
1. Anak tidak diizinkan memiliki kendali atas dirinya
Misal: anak tidak mau duduk tenang di meja makan saat jam makan tiba, padahal ia sudah menyampaikan bahwa dirinya masih kenyang dan belum mau makan saat ini.
2. Anak terpengaruh dari lingkungan sekitar
Misal: saat marah, anak berteriak dan membanting barang karena mencontoh anggota keluarga lain yang juga berperilaku demikian.
3. Anak merasa kurang terkoneksi dengan orang tuanya
Misal: anak mengganggu adiknya agar mendapat perhatian dari orang tua.
4. Anak terlalu banyak mendapat tekanan dan kurang mendapat kesempatan untuk 'menjadi anak-anak'
Misal: anak menjadi mudah marah karena kelelahan setelah mengikuti banyak les, sehingga tidak ada waktu untuk bermain bersama teman sebaya.
Saat kita sudah tahu alasan di balik perilaku anak, hal itu akan memudahkan Bunda mengubahnya dengan cara yang tepat, tanpa langsung menggunakan kalimat larangan.
Konsekuensi terlalu banyak memberi larangan pada anak
Memberikan larangan memang dibolehkan ya, Bunda, tapi tetap ada aturan dan batasanya. Sebab, larangan yang berlebihan dapat menyebabkan anak memendam kebutuhannya baik kebutuhan fisiologis, maupun kebutuhan psikologis dan emosi.
Kebutuhan fisiologis misalnya, saat Si Kecil masih ingin menyalurkan energi, tetapi dilarang untuk berlari dan disuruh duduk diam. Sedangkan kebutuhan psikologis dan emosi contohnya, saat anak merasa sedih, tetapi dilarang untuk menangis.
Nah, saat kebutuhan banyak terpendam maka bisa dia ekspresikan dalam perilaku sehari-hari. Perilaku tersebut membuat anak bersikap tidak mau menuruti aturan di luar rumah, atau menjadi berjarak dan tidak mau terbuka dengan orang tua. Jadi, larangan yang berlebihan, pasti akan ada konsekuensinya. Larangan perlu diberikan, asal sesuai dengan kebutuhan.
Simak juga cara menahan diri agar tak banyak mengeluarkan larangan di halaman selanjutnya!
UBAH POLA PARENTING TANPA BANYAK MELARANG
Cara melarang anak/ Foto: Getty Images/iStockphoto/fizkes
Cara orang tua menahan diri agar tak banyak mengucapkan larangan pada anak
Bunda tentu tidak ingin anak memendam kebutuhan karena terlalu banyak larangan di rumah kan? Sebagai solusinya, berkut beberapa cara mengontrol sikap agar bisa mengganti kata larangan dengan memberikan altrnatif lain:
- Mari pahami, mengapa kita perlu melarang anak. Jadi sebelum melarang, kita tanya dulu ke diri sendiri, “Apakah risiko yang akan muncul jika saya mengizinkan anak saya tetap melakukan hal ini.” Dari sini, kita akan melihat perilaku anak dengan lebih tenang dan dapat memahami konsekuensi dari perilaku anak dengan lebih baik.
- Tanyakan ke diri sendiri, adakah alternatif lain yang dapat dilakukan anak saat ini, agar tetap dapat menyalurkan kebutuhannya.
- Tetap tenang dan mengurangi rasa panik dengan menarik nafas panjang beberapa kali.
Ubah kebiasaan pola asuh tanpa banyak melarang
Setelah memahami penjelasan di atas, Bunda tentunya dapat memahami ya, jika larangan bisa dihindari. Nah, jika sudah kadung banyak memberikan larangan pada anak, berikut hal-hal yang sebaiknya kita renungkan dan evaluasi sebagai orang tua:
- Apa saja pola asuh yang harus diubah?
- Kebiasaan orang tua yang memicu anak melanggar larangan?
Rahasia mendidik anak agar menurut
Nah, berhenti memberikan banyak larangan juga bisa menjadi kunci membuat anak lebih nurut nih, Bunda.
Sebaiknya, Bunda tidak terfokus pada memberi larangan, tetapi fokuslah pada berempati terhadap kebutuhan anak. Berikan pemahaman mengenai konsekuensi, dan memberi batasan. Misal dengan memberi tahu apa yang anak boleh lakukan, bukan yang tidak boleh anak lakukan.
Semoga membantu ya!
ARTIKEL TERKAIT

Parenting
10 Ucapan Orang Tua Pengganti Kalimat Larangan untuk Anak

Parenting
Tips agar Orang Tua Tidak Sering Melarang Anak

Parenting
5 Tips Melibatkan Ayah Mendidik Anak, Bagus untuk Perkembangan Mental Si Kecil

Parenting
9 Tanda Anak Kecanduan Gadget dan Solusi untuk Mengatasinya

Parenting
Cara Menjaga Kesehatan Mental Anak dengan Memenuhi Haknya di Masa Pandemi


5 Foto
Parenting
Bikin Gemas! Ini 5 Potret Terbaru Hamish Daud dan Sang Putri Zalina
HIGHLIGHT
HAIBUNDA STORIES
REKOMENDASI PRODUK
INFOGRAFIS
KOMIK BUNDA
FOTO
Fase Bunda